Beberapa Perkara yang Perlu Diperhatikan Saat Hendak Shalat
Shalat dengan pakaian yang diharamkan
Sebuah pakaian bisa diharamkan bagi seseorang, mungkin dari sisi diperolehnya pakaian tersebut dengan cara yang haram, atau zat pakaian itu sendiri yang haram atau sifatnya yang haram.
Shalat dengan pakaian yang diharamkan
Sebuah pakaian bisa diharamkan bagi seseorang, mungkin dari sisi diperolehnya pakaian tersebut dengan cara yang haram, atau zat pakaian itu sendiri yang haram atau sifatnya yang haram.
- Diperoleh dengan cara yang haram, mungkin dengan mencuri ataupun merampasnya dari orang lain atau yang semisalnya.
- Zat pakaian itu haram, seperti pakaian sutera dan emas yang diharamkan bagi laki-laki untuk memakainya atau pakaian yang bergambar makhluk hidup (manusia dan hewan).
- Sifat pakaian itu haram, seperti seorang laki-laki memakai pakaian wanita atau sebaliknya.
Shalat mengenakan pakaian yang diharamkan tersebut hukumnya haram. Lantas, apakah shalat yang dikerjakan sah ataukah batal ? Dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan ahlul ilmi. Namun pendapat mayoritas ahlul ilmi adalah shalatnya sah, tidak batal. Pelakunya dianggap telah berbuat maksiat karena melakukan perkara yang diharamkan, yakni memakai pakaian yang diharamkan. Ketika syariat melarang mengenakan sebuah pakaian secara mutlak pada saat menunaikan shalat ataupun di luar shalat, maka ini tidaklah mengandung konsekuensi batalnya shalat yang dikerjakan dengan memakai pakaian tersebut. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/ 448).
Shalat dengan memakai pakaian bercorak/ bergambar
Ummul mukminin Aisyah mengabarkan:
“Nabi shalat mengenakan khamishah yang memiliki corak/gambar-gambar. Beliau memandang sekali ke arah gambar-gambarnya. Maka selesai dari shalatnya, beliau bersabda, “Bawalah khamishahku ini kepada Abu Jahm dan datangkan untukku anbijaniyyahnya Abu Jahm , karena khamisah ini hampir menyibukkanku dari shalatku tadi .” Hisyam bin Urwah berkata dari bapaknya dari Aisyah, “Nabi bersabda, “Ketika sedang shalat tadi aku sempat melihat ke gambarnya, maka aku khawatir gambar ini akan melalikan/menggodaku .” (HR. Al-Bukhari no. 373 dan Muslim no. 1239)
Al-Imam An-Nawawi dalam syarah(penjelasan)nya terhadap Shahih Muslim memberi judul bagi hadits di atas dengan “Karahiyatush Shalah fi Tsaubin Lahu A’lam” artinya makruhnya shalat dengan mengenakan pakaian bergambar.
Rasulullah mengatakan bahwa gambar-gambar yang ada pada khamishah tersebut sempat menyibukkan beliau.
Maksudnya, hati beliau tersibukkan sesaat dari perhatian secara sempurna terhadap shalat yang sedang dikerjakan, dari mentadaburi dzikir-dzikir dan bacaannya karena memandang gambar yang ada pada khamishah yang sedang dikenakannya. Karena khawatir hati beliau akan tersibukkan dengannya, belaiau pun enggan mengenakan khamishah itu dan memerintahkan agar mengembalikannya kepada Abu Jahm. Dari sini kita pahami, tidak disenanginya mengenakan pakaian yang bercorak/bergambar ketika shalat karena dikhawatirkan akan mengganggu ibadah shalat tersebut, walaupun shalat yang dikerjakan tetap sah. Diambil istimbath hukum dari hadits ini bahwa dimakruhkan segala sesuatu yang dapat mengganggu kekhusyukan shalat seperti hiasan, warna-warni, dan ukiran pada dinding masjid, atau hal-hal lain yang dapat menyibukkan serta memalingkan hati orang yang sedang shalat. (Ihkamul Ahkam, kitab Ash-Shalah, bab Adz Dzikr ‘Aqibash Shalah, Al-Minhaj 5/46, Fathul Bari 1/627, Syarhu Az-Zarqani ‘ala Muwaththa’ Al-Imam Malik, 1/290)
Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata, “Hadits ini menunjukkan bersegeranya Rasulullah untuk memperbaiki shalat (melakukan hal-hal yang memberi kemashalahatan bagi ibadah shalat) serta menyingkirkan apa yang mungkin menodai pelaksanaannya. Di mana beliau melepas khamishah yang dikenakannya, menyuruh sahabatnya untuk mengembalikannya dan meminta penggantinya berupa pakaian lain yang tidak menyibukkan.” (Ihkamul Ahkam, kitab Ash-Shalah, bab Adz-Dzikr ‘Aqibash Shalah)
Zainuddin Abul Fadhl Al-Iraqi menyatakan, “Hadits ini menunjukkan keharusan meyingkirkan apa saja yang dapat menyibukkan orang yang shalat dari ibadah shalatnya dan melalaikannya. Hadits ini juga mengandung hasungan untuk menghadap sepenuhnya pada amalan shalat dan khusyuk di dalamnya. Sebagaimana pula hadits ini menunjukan bahwa pikiran sedikit/sejenak tersibukkan dengan perkara selain shalat tidaklah mencacati keabsahan shalat.” (Tharhu At-Tatsrib, 2/585)
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa tidak disenangi untuk shalat di tempat yang padanya ada hal-hal yang dapat mengganggu kekhusyukan shalat. Sehingga, sekiranya hal yang mengganggu itu dapat disingkirkan sebagaimana ditunjukkan dalam hadits berikut ini.
Anas bin Malik berkata, Aisyah memiliki qiram yang dipakainya untuk menutupi sisi rumahnya, maka Nabi bersabda:
“Singkirkan dari kami qirammu ini karena gambar-gambarnya terus menerus terbayang-bayang dalam shalatku.” (HR.Al-Bukhari no. 374)
Shalat Membawa Gambar
Bila seseorang shalat sementara di sakunya ada dompet yang di dalamnya terdapat uang kertas bergambar makhluk hidup, KTP, SIM yang tentunya ada pas fotonya, apakah shalatnya sah ?
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjawab, “Shalatnya sah. Adapun gambar-gambar yang dibawanya dalam shalat tidaklah mencacati shalatnya karena ia dalam keadaan terpaksa atau ada kebutuhan untuk selalu membawanya. Adapun gambar/ foto kenang-kenangan, untuk mengingat seseorang dan semisalnya, tidak boleh dibawa. Bahkan tidak boleh dibiarkan tetap ada di dalam rumah, namun wajib dimusnahkan. Dengan dalil sabda Nabi kepada Ali bin Abi Thalib:
“Jangan engkau membiarkan satu gambar (makhluk hidup) kecuali engkau haus dan jangan pula membiarkan ada satu kuburan yang ditinggalkan kecuali engkau ratakan.” (HR. Al-Imam Muslim dalam Shahihnya)
Kemudian Asy-Syaikh menyebutkan beerapa hadits yang lainnya. (Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 10/417)
Shalat di Tempat yang Ada Gambar
Shalat di tempat yang di situ ada gambar-gambar bernyawa seprti gmbar-gambar pada surat kabar, majalah, dan buku-buku, atau gambar yang digantung di dinding hukumnya sah apabila si muslim yang shalat tersebut menunaikan shalatnya dengan tata cara yang diajarkan dalam syariat. Akan tetapi bila ia mencari tempat lain yang tidak ada gambarnya maka itu lebih utama dan lebih afdhal. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 10/418)
Shalat Beralaskan Tikar
Dibolehkan shalat dengan memakai alas, baik berupa tikar, sajadah, kain, atau yang lainnaya selama alas tersebut tidak akan mengganggu orang yang shalat. Misalnya sajadahnya bergambar dan berwarna-warni, yang tentunya dapat menarik perhatian orang yang shalat. Di saat shalat, mungkin ia akan menoleh ke gambar-gambarnya lalu mengamatinya, terus memperhatikannya hingga ia lupa dari shalatnya, apa yang sedang dibacanya dan berapa rakaat ang telah dikerjakannya. Oleh karena itu tidak sepantasnya memakai sajadah yang padanya ada gambar masjid, karena bia jadi akan mengganggu orang yang shalat dan membuatnya menoleh ke gambar tersebut sehingga bisa mencacati shalatnya. (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 12/ 362)
Dalil tentang bolehnya shalat dengan memakai alas adalah sebagai berikut:
Anas bin malik mengabrkan bahwa neneknya yang bernama Mulaikah mengundang Rasulullah untuk menyantap hidangan yang dibuatnya. Beliau pun datang memenuhinya serta memakan hidangan yang disajikan. Selesainya, beliau bersabda , “Bangkitlah, aku akan shalat mengimami kalian.” Anas berkata,”Aku pun bangkit untuk mengambil tikar kami yang telah menghitam karena lamanya dipakai. Aku percikkan air untuk membersihkannya. Rasulullah lalu berdiri. Aku dan seorang anak yatim membuat shaf di belakang beliau, sementara nenekku berdiri di belakang kami. Rasulullah shalat dua rakaat mengimami kami, kemudian beliau pergi.” (HR. Al-Bukhari no. 380 dan Muslim no. 1497)
Abu Sa’id Al-Khudri menyatakan:
“Ia pernah masuk menemui Rasulullah, ternyata ia dapatkan beliau sedang shalat di atas tikar, beliau sujud di atas tikar tersebut.” (HR. Muslim no. 1503)
Aisyah berkata:
“Adalah Rasulullah shalat beraaskan khumrah .” (HR. Al-Bukhari no. 379 dan diriwayatkan pula oleh Muslim no. 1502 dari hadits Maimunah)
Ibnu Baththal berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha di berbagai negeri tentang bolehnya shalat di atas/beralas khumrah. Keculai perbuatan yang diriwayatkan dari ‘Umar bin Abdil ‘Aziz bahwa ia pernah meminta tanah lalu diletakkannya di atas khumrahnya untuk kemudian sujud di atas tanah tersebut. Mungkin apa yang dilakukan oleh ‘Umar bin Abdil ‘Aziz ini karena berlebih-lebihannya beliau dalam sikap tawadhu’ dan khusyuk. Dengan begitu, dalam perbuatan beliau ini tidak ada penyelisihan dengan pendapat jamaah (yang menyatakan bolehnya sujud di atas khumrah).
Ibnu Abi Syaibah meriwaytkan dari ‘Urwah ibnuz Zubair bahwa ia membenci (memakruhkan) shalat di atas sesuatu selain bumi /tanah (membenci shalat dengan memakai alas). Demikian pula riwayat dari selain ‘Urwah. Namun dimungkinkan makruhnya di sini adalah karahah tanzih (bukan haram).” (Fathul Bari, 1/633)
Namun perbuatan Rasulullah ini cukuplah menujukkan kebolehan shalat di atas alas. Wallahu a’lam.
Al-Imam An-Nawawi menyatakan ,”Orang-orang dalam mazhab kami berkata, ‘Tidak dibenci shalat di atas wol, bulu, hamparan, permadani, dan benda-benda seluruhnya. Inilah pendapat dalam mazhab kami’.” (Al-Majmu’, 3/169)
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata, “Tidak apa-apa shalat di atas hamparan/tikar dan permadani dari wol, kulit, dan bulu. Sebagaimana dibolehkan shalat di ats kain dari katun, linen, dan seluruh bahan yang suci.” (Al-Mughni, kitab Ash-Shalah, fashl Tashihhu Ash-Shalah ‘alal Hashir wal Bisath minash Shuf)
Shalat dengan Pakaian yang Dikenankan Saat Buang Hajat/di WC
Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin pernah ditanya tentang hal ini, karena memungkinkan ketika keluar dari WC pakaian mereka terkena najis dan tidak diragukan WC tidak lepas dari najis. Bila demikian, apakah sah shalat mereka dengan mengenakan pakaian tersebut ? beliau menjawab, “Sebelum aku menjawab pertanyaan ini, aku hendak mengatakan bahwa syariat Islam ini, alhamdulillah, telah sempurna dari seluruh sisi. Cocok dengan fitrah manusia yang Allah ciptakan makhluk di atas fitrah tersebut. Di mana pula, agama ini datang dengan kemudahan dan keringanan, bahkan datang untuk menjauhkan manusia dari kebingungan dalam was-was dan bayangan-bayangan yang tidak ada asalny. Berdasarkan hal ini, seseorang dengan pakaian yang dikenakannya berada di atas kesucian, karena hukum asalnya demikian, selama ia tidak yakin tubuh dan pakaiannya terkena najis. Inilah hukum asal yang dipersaksikan oleh sabda Rasulullah tatkala ada seseorang mengadu kepada beliau bahwa ia merasa berhadats ketika sedang mengerjakan shalatnya. Beliau bersabda:
“Jangan ia berpaling (membatalkan shalatnya) sampai ia mendegar suara (angin) atau ia mendapati baunya.”
Maka hukum asalnya adalah tetapnya sesuatu di atas keadaanya semula (dalam hal ini: suci). Dengan begitu, basahnya pakaian yang dikenankan mereka saat masuk WC, bisakah dipastikan bahwa cairan tersebut adalah cairan yan najis dari air kencing, tahi, atau semisalnya ? Bila kita tidak bisa memastikan (tidak yakin) dengan perkara ini, maka dikembalikan kepada hukum asal, yaitu suci. Memang benar, menurut persangkan yang kuat pakaian itu bisa jadi terkena sedikit najis. Akan tetapi selama kita tidak yakin (sekedar menduga-duga) maka tetap hukum asal sesuatu itu suci, sehingga tidak wajib bagi mereka membasuh pakaian mereka. Dan mereka boleh shalat mengenakan pakaian tersebut.” (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 12/369)
Shalat Memakai Sandal
Rasulullah terkadang shalat tanpa alas kaki dan terkadang memakai sandal. Beliau membolehkan hal itu kepada umat beliau dengan sabdanya:
“Apabila salah seorang dari kalian shalat, maka hendaknya ia memakai kedua sandalnya atau ia lepaskan di antara kedua kakinya, dan jangan ia mengganggu orang ain dengan kedua sandalnya.” (HR. Al-Hakim 1/259, ia berkata, “Shahih di atas syarat Muslim.” Disepakati oleh Adz Dzahabi. Kata Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ashlu Shifati Shalatin Nabi 1/108, “Hadits ini memang sebagaimana yang dikatakan leh keduanya.”)
Didapatkan pula adanya penekanan beliauagar mengenakan sandal ketika shalat sebagaimana dalam hadits:
“Selisihilah Yahudi, karena mereka tidak shalat dengan mengenakan sandal dan tidak pula khuf mereka.” (HR. Abu Dawud no.652, dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa Fish Shahihain, hadits no. 471, 1/399)
Asy-Syaikh Al-Albani berkata, “Hadits ini memberi faedah disenanginya shalat dengan memakai sandal karena Rasulullah memerintahkannay dengan alasan untuk menyelisihi Yahudi. Minimal hukumnya adalah mustahab, walaupun secara dzahir hukumnya wajib. Karena hukum asal dari perintah adalah wajib, kecuali ada nash yang memalingkannya dari hukum wajib tersebut. Namun di sini tidaklah wajib hukumnya dengan dalil sabda beliau yang telah disebutkan sebelumnya:
“Apabila salah seorang dari kalian shalat, maka hendaknya ia memakai kedua sandalnya atau ia lepaskan keduanya…”
Dari ucapan beliau ini menunjukkan seseorang yang shalat diberi pilihan (antara memakai sandal atau melepaskannya) akan tetapi hal ini tidaklah meniadakan hukum mustahabnya…” (Ashlu Shifati Shalatin Nabi, 1/109, 110)
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari berkata, ”Mustahabnya dari sisi tujuan menyelisihi Yahudi.”
Sunnah ini tentunya akan dianggap asing oleh masyarakat kita karena ketidaktahuan mereka terhadap hukum-hukum yang rinci dalam agama ini. Juga karena pandangan mereka, apabila seseorang masuk masjid dalam keadaan memakai sandal berarti dia menghinakan masjid dan mengotorinya. Sehingga siapa saja yang hendak mengamalkan sunnah harus pandai-pandai melihat keadaan dan super hati-hati. Jangan sampai krena ingin menghidupkan sunnah namun hasilya malahan mendatangkan mudarat dan membuat fitnah di tengah masyarakatnya yang awam tersebut, yang menyebabkan sunnah ini justru dibenci dn agama ini semakin dijauhi. Wallahul musta’an.
Oleh karena itu, ajarilah dulu manusia agama yang mudah ini dengan penuh hikmah, sehingga mereka mengerti dan paham, dan pada akhirnya mereka cinta terhadap agama ini dan mengamalkan semua yang datang dari agama yang mulia ini, tanpa ada paksaan dari siapa pun. Wallahul muwaffiq ila ash-shawab.
Shalat dengan memakai pakaian bercorak/ bergambar
Ummul mukminin Aisyah mengabarkan:
“Nabi shalat mengenakan khamishah yang memiliki corak/gambar-gambar. Beliau memandang sekali ke arah gambar-gambarnya. Maka selesai dari shalatnya, beliau bersabda, “Bawalah khamishahku ini kepada Abu Jahm dan datangkan untukku anbijaniyyahnya Abu Jahm , karena khamisah ini hampir menyibukkanku dari shalatku tadi .” Hisyam bin Urwah berkata dari bapaknya dari Aisyah, “Nabi bersabda, “Ketika sedang shalat tadi aku sempat melihat ke gambarnya, maka aku khawatir gambar ini akan melalikan/menggodaku .” (HR. Al-Bukhari no. 373 dan Muslim no. 1239)
Al-Imam An-Nawawi dalam syarah(penjelasan)nya terhadap Shahih Muslim memberi judul bagi hadits di atas dengan “Karahiyatush Shalah fi Tsaubin Lahu A’lam” artinya makruhnya shalat dengan mengenakan pakaian bergambar.
Rasulullah mengatakan bahwa gambar-gambar yang ada pada khamishah tersebut sempat menyibukkan beliau.
Maksudnya, hati beliau tersibukkan sesaat dari perhatian secara sempurna terhadap shalat yang sedang dikerjakan, dari mentadaburi dzikir-dzikir dan bacaannya karena memandang gambar yang ada pada khamishah yang sedang dikenakannya. Karena khawatir hati beliau akan tersibukkan dengannya, belaiau pun enggan mengenakan khamishah itu dan memerintahkan agar mengembalikannya kepada Abu Jahm. Dari sini kita pahami, tidak disenanginya mengenakan pakaian yang bercorak/bergambar ketika shalat karena dikhawatirkan akan mengganggu ibadah shalat tersebut, walaupun shalat yang dikerjakan tetap sah. Diambil istimbath hukum dari hadits ini bahwa dimakruhkan segala sesuatu yang dapat mengganggu kekhusyukan shalat seperti hiasan, warna-warni, dan ukiran pada dinding masjid, atau hal-hal lain yang dapat menyibukkan serta memalingkan hati orang yang sedang shalat. (Ihkamul Ahkam, kitab Ash-Shalah, bab Adz Dzikr ‘Aqibash Shalah, Al-Minhaj 5/46, Fathul Bari 1/627, Syarhu Az-Zarqani ‘ala Muwaththa’ Al-Imam Malik, 1/290)
Ibnu Daqiqil ‘Ied berkata, “Hadits ini menunjukkan bersegeranya Rasulullah untuk memperbaiki shalat (melakukan hal-hal yang memberi kemashalahatan bagi ibadah shalat) serta menyingkirkan apa yang mungkin menodai pelaksanaannya. Di mana beliau melepas khamishah yang dikenakannya, menyuruh sahabatnya untuk mengembalikannya dan meminta penggantinya berupa pakaian lain yang tidak menyibukkan.” (Ihkamul Ahkam, kitab Ash-Shalah, bab Adz-Dzikr ‘Aqibash Shalah)
Zainuddin Abul Fadhl Al-Iraqi menyatakan, “Hadits ini menunjukkan keharusan meyingkirkan apa saja yang dapat menyibukkan orang yang shalat dari ibadah shalatnya dan melalaikannya. Hadits ini juga mengandung hasungan untuk menghadap sepenuhnya pada amalan shalat dan khusyuk di dalamnya. Sebagaimana pula hadits ini menunjukan bahwa pikiran sedikit/sejenak tersibukkan dengan perkara selain shalat tidaklah mencacati keabsahan shalat.” (Tharhu At-Tatsrib, 2/585)
Sebagaimana telah disinggung di atas bahwa tidak disenangi untuk shalat di tempat yang padanya ada hal-hal yang dapat mengganggu kekhusyukan shalat. Sehingga, sekiranya hal yang mengganggu itu dapat disingkirkan sebagaimana ditunjukkan dalam hadits berikut ini.
Anas bin Malik berkata, Aisyah memiliki qiram yang dipakainya untuk menutupi sisi rumahnya, maka Nabi bersabda:
“Singkirkan dari kami qirammu ini karena gambar-gambarnya terus menerus terbayang-bayang dalam shalatku.” (HR.Al-Bukhari no. 374)
Shalat Membawa Gambar
Bila seseorang shalat sementara di sakunya ada dompet yang di dalamnya terdapat uang kertas bergambar makhluk hidup, KTP, SIM yang tentunya ada pas fotonya, apakah shalatnya sah ?
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjawab, “Shalatnya sah. Adapun gambar-gambar yang dibawanya dalam shalat tidaklah mencacati shalatnya karena ia dalam keadaan terpaksa atau ada kebutuhan untuk selalu membawanya. Adapun gambar/ foto kenang-kenangan, untuk mengingat seseorang dan semisalnya, tidak boleh dibawa. Bahkan tidak boleh dibiarkan tetap ada di dalam rumah, namun wajib dimusnahkan. Dengan dalil sabda Nabi kepada Ali bin Abi Thalib:
“Jangan engkau membiarkan satu gambar (makhluk hidup) kecuali engkau haus dan jangan pula membiarkan ada satu kuburan yang ditinggalkan kecuali engkau ratakan.” (HR. Al-Imam Muslim dalam Shahihnya)
Kemudian Asy-Syaikh menyebutkan beerapa hadits yang lainnya. (Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 10/417)
Shalat di Tempat yang Ada Gambar
Shalat di tempat yang di situ ada gambar-gambar bernyawa seprti gmbar-gambar pada surat kabar, majalah, dan buku-buku, atau gambar yang digantung di dinding hukumnya sah apabila si muslim yang shalat tersebut menunaikan shalatnya dengan tata cara yang diajarkan dalam syariat. Akan tetapi bila ia mencari tempat lain yang tidak ada gambarnya maka itu lebih utama dan lebih afdhal. (Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 10/418)
Shalat Beralaskan Tikar
Dibolehkan shalat dengan memakai alas, baik berupa tikar, sajadah, kain, atau yang lainnaya selama alas tersebut tidak akan mengganggu orang yang shalat. Misalnya sajadahnya bergambar dan berwarna-warni, yang tentunya dapat menarik perhatian orang yang shalat. Di saat shalat, mungkin ia akan menoleh ke gambar-gambarnya lalu mengamatinya, terus memperhatikannya hingga ia lupa dari shalatnya, apa yang sedang dibacanya dan berapa rakaat ang telah dikerjakannya. Oleh karena itu tidak sepantasnya memakai sajadah yang padanya ada gambar masjid, karena bia jadi akan mengganggu orang yang shalat dan membuatnya menoleh ke gambar tersebut sehingga bisa mencacati shalatnya. (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 12/ 362)
Dalil tentang bolehnya shalat dengan memakai alas adalah sebagai berikut:
Anas bin malik mengabrkan bahwa neneknya yang bernama Mulaikah mengundang Rasulullah untuk menyantap hidangan yang dibuatnya. Beliau pun datang memenuhinya serta memakan hidangan yang disajikan. Selesainya, beliau bersabda , “Bangkitlah, aku akan shalat mengimami kalian.” Anas berkata,”Aku pun bangkit untuk mengambil tikar kami yang telah menghitam karena lamanya dipakai. Aku percikkan air untuk membersihkannya. Rasulullah lalu berdiri. Aku dan seorang anak yatim membuat shaf di belakang beliau, sementara nenekku berdiri di belakang kami. Rasulullah shalat dua rakaat mengimami kami, kemudian beliau pergi.” (HR. Al-Bukhari no. 380 dan Muslim no. 1497)
Abu Sa’id Al-Khudri menyatakan:
“Ia pernah masuk menemui Rasulullah, ternyata ia dapatkan beliau sedang shalat di atas tikar, beliau sujud di atas tikar tersebut.” (HR. Muslim no. 1503)
Aisyah berkata:
“Adalah Rasulullah shalat beraaskan khumrah .” (HR. Al-Bukhari no. 379 dan diriwayatkan pula oleh Muslim no. 1502 dari hadits Maimunah)
Ibnu Baththal berkata, “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha di berbagai negeri tentang bolehnya shalat di atas/beralas khumrah. Keculai perbuatan yang diriwayatkan dari ‘Umar bin Abdil ‘Aziz bahwa ia pernah meminta tanah lalu diletakkannya di atas khumrahnya untuk kemudian sujud di atas tanah tersebut. Mungkin apa yang dilakukan oleh ‘Umar bin Abdil ‘Aziz ini karena berlebih-lebihannya beliau dalam sikap tawadhu’ dan khusyuk. Dengan begitu, dalam perbuatan beliau ini tidak ada penyelisihan dengan pendapat jamaah (yang menyatakan bolehnya sujud di atas khumrah).
Ibnu Abi Syaibah meriwaytkan dari ‘Urwah ibnuz Zubair bahwa ia membenci (memakruhkan) shalat di atas sesuatu selain bumi /tanah (membenci shalat dengan memakai alas). Demikian pula riwayat dari selain ‘Urwah. Namun dimungkinkan makruhnya di sini adalah karahah tanzih (bukan haram).” (Fathul Bari, 1/633)
Namun perbuatan Rasulullah ini cukuplah menujukkan kebolehan shalat di atas alas. Wallahu a’lam.
Al-Imam An-Nawawi menyatakan ,”Orang-orang dalam mazhab kami berkata, ‘Tidak dibenci shalat di atas wol, bulu, hamparan, permadani, dan benda-benda seluruhnya. Inilah pendapat dalam mazhab kami’.” (Al-Majmu’, 3/169)
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata, “Tidak apa-apa shalat di atas hamparan/tikar dan permadani dari wol, kulit, dan bulu. Sebagaimana dibolehkan shalat di ats kain dari katun, linen, dan seluruh bahan yang suci.” (Al-Mughni, kitab Ash-Shalah, fashl Tashihhu Ash-Shalah ‘alal Hashir wal Bisath minash Shuf)
Shalat dengan Pakaian yang Dikenankan Saat Buang Hajat/di WC
Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin pernah ditanya tentang hal ini, karena memungkinkan ketika keluar dari WC pakaian mereka terkena najis dan tidak diragukan WC tidak lepas dari najis. Bila demikian, apakah sah shalat mereka dengan mengenakan pakaian tersebut ? beliau menjawab, “Sebelum aku menjawab pertanyaan ini, aku hendak mengatakan bahwa syariat Islam ini, alhamdulillah, telah sempurna dari seluruh sisi. Cocok dengan fitrah manusia yang Allah ciptakan makhluk di atas fitrah tersebut. Di mana pula, agama ini datang dengan kemudahan dan keringanan, bahkan datang untuk menjauhkan manusia dari kebingungan dalam was-was dan bayangan-bayangan yang tidak ada asalny. Berdasarkan hal ini, seseorang dengan pakaian yang dikenakannya berada di atas kesucian, karena hukum asalnya demikian, selama ia tidak yakin tubuh dan pakaiannya terkena najis. Inilah hukum asal yang dipersaksikan oleh sabda Rasulullah tatkala ada seseorang mengadu kepada beliau bahwa ia merasa berhadats ketika sedang mengerjakan shalatnya. Beliau bersabda:
“Jangan ia berpaling (membatalkan shalatnya) sampai ia mendegar suara (angin) atau ia mendapati baunya.”
Maka hukum asalnya adalah tetapnya sesuatu di atas keadaanya semula (dalam hal ini: suci). Dengan begitu, basahnya pakaian yang dikenankan mereka saat masuk WC, bisakah dipastikan bahwa cairan tersebut adalah cairan yan najis dari air kencing, tahi, atau semisalnya ? Bila kita tidak bisa memastikan (tidak yakin) dengan perkara ini, maka dikembalikan kepada hukum asal, yaitu suci. Memang benar, menurut persangkan yang kuat pakaian itu bisa jadi terkena sedikit najis. Akan tetapi selama kita tidak yakin (sekedar menduga-duga) maka tetap hukum asal sesuatu itu suci, sehingga tidak wajib bagi mereka membasuh pakaian mereka. Dan mereka boleh shalat mengenakan pakaian tersebut.” (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 12/369)
Shalat Memakai Sandal
Rasulullah terkadang shalat tanpa alas kaki dan terkadang memakai sandal. Beliau membolehkan hal itu kepada umat beliau dengan sabdanya:
“Apabila salah seorang dari kalian shalat, maka hendaknya ia memakai kedua sandalnya atau ia lepaskan di antara kedua kakinya, dan jangan ia mengganggu orang ain dengan kedua sandalnya.” (HR. Al-Hakim 1/259, ia berkata, “Shahih di atas syarat Muslim.” Disepakati oleh Adz Dzahabi. Kata Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ashlu Shifati Shalatin Nabi 1/108, “Hadits ini memang sebagaimana yang dikatakan leh keduanya.”)
Didapatkan pula adanya penekanan beliauagar mengenakan sandal ketika shalat sebagaimana dalam hadits:
“Selisihilah Yahudi, karena mereka tidak shalat dengan mengenakan sandal dan tidak pula khuf mereka.” (HR. Abu Dawud no.652, dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa Fish Shahihain, hadits no. 471, 1/399)
Asy-Syaikh Al-Albani berkata, “Hadits ini memberi faedah disenanginya shalat dengan memakai sandal karena Rasulullah memerintahkannay dengan alasan untuk menyelisihi Yahudi. Minimal hukumnya adalah mustahab, walaupun secara dzahir hukumnya wajib. Karena hukum asal dari perintah adalah wajib, kecuali ada nash yang memalingkannya dari hukum wajib tersebut. Namun di sini tidaklah wajib hukumnya dengan dalil sabda beliau yang telah disebutkan sebelumnya:
“Apabila salah seorang dari kalian shalat, maka hendaknya ia memakai kedua sandalnya atau ia lepaskan keduanya…”
Dari ucapan beliau ini menunjukkan seseorang yang shalat diberi pilihan (antara memakai sandal atau melepaskannya) akan tetapi hal ini tidaklah meniadakan hukum mustahabnya…” (Ashlu Shifati Shalatin Nabi, 1/109, 110)
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari berkata, ”Mustahabnya dari sisi tujuan menyelisihi Yahudi.”
Sunnah ini tentunya akan dianggap asing oleh masyarakat kita karena ketidaktahuan mereka terhadap hukum-hukum yang rinci dalam agama ini. Juga karena pandangan mereka, apabila seseorang masuk masjid dalam keadaan memakai sandal berarti dia menghinakan masjid dan mengotorinya. Sehingga siapa saja yang hendak mengamalkan sunnah harus pandai-pandai melihat keadaan dan super hati-hati. Jangan sampai krena ingin menghidupkan sunnah namun hasilya malahan mendatangkan mudarat dan membuat fitnah di tengah masyarakatnya yang awam tersebut, yang menyebabkan sunnah ini justru dibenci dn agama ini semakin dijauhi. Wallahul musta’an.
Oleh karena itu, ajarilah dulu manusia agama yang mudah ini dengan penuh hikmah, sehingga mereka mengerti dan paham, dan pada akhirnya mereka cinta terhadap agama ini dan mengamalkan semua yang datang dari agama yang mulia ini, tanpa ada paksaan dari siapa pun. Wallahul muwaffiq ila ash-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar