Dakwah, Pengobatan, Tausiyah

  • Breaking News

    Rasulullah dari Kelahiran Hingga Perkawinannya Bag.3


    Ustadz Galih Gumelar

    Juga orang berselisih pendapat mengenai  tugas  yang  dipegang
    Muhammad  dalam  perang  itu.  Ada  yang  mengatakan  tugasnya
    mengumpulkan anak-anak panah yang datang  dari  pihak  Hawazin
    lalu di berikan kepada paman-pamannya untuk dibalikkan kembali
    kepada pihak lawan. Yang  lain  lagi  berpendapat,  bahwa  dia
    sendiri yang ikut melemparkan panah. Tetapi, selama peperangan
    tersebut telah berlangsung sampai empat tahun, maka  kebenaran
    kedua  pendapat  itu dapat saja diterima. Mungkin pada mulanya
    ia  mengumpulkan  anak-anak  panah  itu  untuk  pamannya   dan
    kemudian  dia  sendiripun  ikut  melemparkan.  Beberapa  tahun
    sesudah  kenabiannya  Rasulullah  menyebutkan  tentang  Perang
    Fijar  itu  dengan  berkata:  "Aku mengikutinya bersama dengan
    paman-pamanku, juga ikut melemparkan panah dalam  perang  itu;
    sebab aku tidak suka kalau tidak juga aku ikut melaksanakan."
    
    Sesudah  Perang  Fijar  Quraisy  merasakan sekali bencana yang
    menimpa mereka dan menimpa Mekah seluruhnya,  yang  disebabkan
    oleh perpecahan, sesudah Hasyim dan 'Abd'l-Muttalib wafat, dan
    masing-masing pihak berkeras mau  jadi  yang  berkuasa.  Kalau
    tadinya orang-orang Arab itu menjauhi, sekarang mereka berebut
    mau berkuasa. Atas anjuran Zubair bin 'Abd'l-Muttalib di rumah
    Abdullah  bin  Jud'an  diadakan  pertemuan  dengan  mengadakan
    jamuan makan, dihadiri oleh  keluarga-keluarga  Hasyim,  Zuhra
    dan  Taym.  Mereka  sepakat  dan berjanji atas nama Tuhan Maha
    Pembalas, bahwa Tuhan akan  berada  di  pihak  yang  teraniaya
    sampai  orang itu tertolong. Muhammad menghadiri pertemuan itu
    yang oleh mereka disebut Hilf'l-Fudzul.  Ia  mengatakan,  "Aku
    tidak  suka  mengganti fakta yang kuhadiri di rumah Ibn Jud'an
    itu dengan jenis unta yang baik.  Kalau  sekarang  aku  diajak
    pasti kukabulkan."
    
    Seperti   kita  lihat,  Perang  Fijar  itu  berlangsung  hanya
    beberapa hari saja tiap tahun.  Sedang  selebihnya  masyarakat
    Arab  kembali  ke  pekerjaannya  masing-masing. Pahit-getirnya
    peperangan  yang  tergores  dalam  hati  mereka   tidak   akan
    menghalangi  mereka  dari  kegiatan  perdagangan,  menjalankan
    riba, minum minuman keras serta pelbagai macam kesenangan  dan
    hiburan sepuas-puasnya
    
    Adakah  juga  Muhammad ikut serta dengan mereka dalam hal ini?
    Ataukah sebaliknya perasaannya yang halus,  kemampuannya  yang
    terbatas  serta asuhan pamannya membuatnya jadi menjauhi semua
    itu, dan melihat segala kemewahan dengan  mata  bernafsu  tapi
    tidak  mampu? Bahwasanya dia telah menjauhi semua itu, sejarah
    cukup menjadi saksi. Yang terang ia menjauhi itu bukan  karena
    tidak  mampu  mencapainya.  Mereka  yang  tinggal di pinggiran
    Mekah,  yang  tidak  mempunyai  mata  pencarian,  hidup  dalam
    kemiskinan dan kekurangan, ikut hanyut juga dalam hiburan itu.
    Bahkan di antaranya lebih gila lagi dari  pemuka-pemuka  Mekah
    dan  bangsawan-bangsawan  Quraisy  dalam menghanyutkan diri ke
    dalam kesenangan demikian itu.
    
    Akan tetapi jiwa Muhammad  adalah  jiwa  yang  ingin  melihat,
    ingin  mendengar,  ingin  mengetahui.  Dan  seolah  tidak ikut
    sertanya ia belajar seperti yang dilakukan teman-temannya dari
    anak-anak  bangsawan  menyebabkan  ia  lebih  keras lagi ingin
    memiliki pengetahuan. Karena jiwanya yang besar, yang kemudian
    pengaruhnya tampak berkilauan menerangi dunia, jiwa besar yang
    selalu mendambakan kesempurnaan, itu jugalah yang  menyebabkan
    dia  menjauhi  foya-foya,  yang  biasa  menjadi  sasaran utama
    pemduduk Mekah. Ia mendambakan cahaya hidup  yang  akan  lahir
    dalam  segala  manifestasi kehidupan, dan yang akan dicapainya
    hanya dengan dasar kebenaran. Kenyataan  ini  dibuktikan  oleh
    julukan  yang  diberikan  orang  kepadanya dan bawaan yang ada
    dalam dirinya. Itu sebabnya, sejak masa ia kanak-kanak  gejala
    kesempurnaan,  kedewasaan  dan  kejujuran  hati  sudah tampak,
    sehingga penduduk Mekah semua  memanggilnya  Al-Amin  (artinya
    'yang dapat dipercaya').
    
    Yang menyebabkan dia lebih banyak merenung dan berpikir, ialah
    pekerjaannya menggembalakan kambing sejak dalam  masa  mudanya
    itu.   Dia  menggembalakan  kambing  keluarganya  dan  kambing
    penduduk Mekah. Dengan rasa gembira ia  menyebutkan  saat-saat
    yang  dialaminya  pada  waktu menggembala itu. Di antaranya ia
    berkata: "Nabi-nabi yang diutus Allah  itu  gembala  kambing."
    Dan  katanya  lagi:  "Musa  diutus,  dia gembala kambing, Daud
    diutus, dia gembala kambing, aku diutus, juga gembala  kambing
    keluargaku di Ajyad."
    
    Gembala  kambing  yang  berhati  terang  itu, dalam udara yang
    bebas lepas di siang hari, dalam kemilau  bintang  bila  malam
    sudah  bertahta,  menemukan  suatu  tempat  yang  serasi untuk
    pemikiran dan permenungannya. Ia menerawang dalam suasana alam
    demikian  itu,  karena ia ingin melihat sesuatu di balik semua
    itu.  Dalam  pelbagai  manifestasi  alam  ia   mencari   suatu
    penafsiran  tentang penciptaan semesta ini. Ia melihat dirinya
    sendiri. Karena hatinya yang terang, jantungnya yang hidup, ia
    melihat dirinya tidak terpisah dari alam semesta itu. Bukankah
    juga ia menghirup udaranya, dan kalau tidak  demikian  berarti
    kematian?   Bukankah   ia   dihidupkan  oleh  sinar  matahari,
    bermandikan cahaya bulan dan kehadirannya  berhubungan  dengan
    bintang-bintang  dan  dengan seluruh alam? Bintang-bintang dan
    semesta alam yang tampak membentang di  depannya,  berhubungan
    satu  dengan  yang  lain  dalam susunan yang sudah ditentukan,
    matahari tiada seharusnya dapat mengejar bulan atau malam akan
    mendahului  siang.  Apabila kelompok kambing yang ada di depan
    Muhammad itu  memintakan  kesadaran  dan  perhatiannya  supaya
    jangan  ada  serigala  yang  akan  menerkam  domba itu, jangan
    sampai - selama tugasnya di pedalaman itu  -  ada  domba  yang
    sesat, maka kesadaran dan kekuatan apakah yang menjaga susunan
    alam yang begitu kuat ini?
    
    Pemikiran dan permenungan demikian membuat ia jauh dari segala
    pemikiran  nafsu  manusia duniawi. Ia berada lebih tinggi dari
    itu sehingga adanya hidup palsu yang sia-sia akan tampak jelas
    di   hadapannya.   Oleh   karena   itu,  dalam  perbuatan  dan
    tingkah-lakunya Muhammad terhindar dari segala  penodaan  nama
    yang sudah diberikan kepadanya oleh penduduk Mekah, dan memang
    begitu adanya: Al-Amin.
    
    Semua  ini  dibuktikan  oleh  keterangan  yang  diceritakannya
    kemudian,  bahwa  ketika  itu  ia  sedang  menggembala kambing
    dengan seorang kawannya.  Pada  suatu  hari  hatinya  berkata,
    bahwa  ia  ingin  bermain-main seperti pemuda-pemuda lain. Hal
    ini dikatakannya kepada kawannya pada suatu  senja,  bahwa  ia
    ingin  turun  ke  Mekah,  bermain-main  seperti para pemuda di
    gelap  malam,  dan  dimintanya  kawannya  menjagakan   kambing
    ternaknya itu. Tetapi sesampainya di ujung Mekah, perhatiannya
    tertarik pada suatu pesta perkawinan dan dia hadir  di  tempat
    itu.  Tetapi  tiba-tiba  ia  tertidur.  Pada  malam berikutnya
    datang lagi ia ke Mekah, dengan maksud  yang  sama.  Terdengar
    olehnya  irama  musik yang indah, seolah turun dari langit. Ia
    duduk mendengarkan. Lalu tertidur lagi sampai pagi.
    
    Jadi apakah gerangan pengaruh segala daya  penarik  Mekah  itu
    terhadap  kalbu  dan  jiwa  yang begitu padat oleh pikiran dan
    renungan? Gerangan apa pula artinya segala daya  penarik  yang
    kita  gambarkan itu yang juga tidak disenangi oleh mereka yang
    martabatnya jauh di bawah Muhammad?
    
    Karena itu ia terhindar dari cacat. Yang sangat  terasa  benar
    nikmatnya,  ialah  bila  ia sedang berpikir atau merenung. Dan
    kehidupan  berpikir  dan  merenung  serta  kesenangan  bekerja
    sekadarnya seperti menggembalakan kambing, bukanlah suatu cara
    hidup yang  membawa  kekayaan  berlimpah-limpah  baginya.  Dan
    memang  tidak  pernah  Muhammad  mempedulikan  hal  itu. Dalam
    hidupnya  ia  memang  menjauhkan  diri  dari  segala  pengaruh
    materi.  Apa  gunanya  ia  mcngejar  itu padahal sudah menjadi
    bawaannya ia tidak pernah tertarik? Yang  diperlukannya  dalam
    hidup ini asal dia masih dapat menyambung hidupnya.
    
    Bukankah  dia juga yang pernahh berkata: "Kami adalah golongan
    yang hanya makan bila merasa lapar, dan bila sudah makan tidak
    sampai  kenyang?"  Bukankah  dia juga yang sudah dikenal orang
    hidup  dalam  kekurangan  selalu  dan   minta   supaya   orang
    bergembira  menghadapi  penderitaan hidup? Cara orang mengejar
    harta dengan  serakah  hendak  memenuhi  hawa  nafsunya,  sama
    sekali   tidak   pernah   dikenal  Muhammad  selama  hidupnya.
    Kenikmatan jiwa yang  paling  besar,  ialah  merasakan  adanya
    keindahan  alam  ini  dan mengajak orang merenungkannya. Suatu
    kenikmatan besar,  yang  hanya  sedikit  saja  dikenal  orang.
    Kenikmatan  yang  dirasakan Muhammad sejak masa pertumbuhannya
    yang mula-mula  yang  telah  diperlihatkan  dunia  sejak  masa
    mudanya  adalah kenangan yang selalu hidup dalam jiwanya, yang
    mengajak orang  hidup  tidak  hanya  mementingkan  dunia.  Ini
    dimulai   sejak   kematian   ayahnya  ketika  ia  masih  dalam
    kandungan,  kemudian  kematian   ibunya,   kemudian   kematian
    kakeknya.  Kenikmatan  demikian  ini  tidak  memerlukan  harta
    kekayaan yang besar, tetapi  memerlukan  suatu  kekayaan  jiwa
    yang  kuat.  sehingga  orang  dapat  mengetahui:  bagaimana ia
    memelihara diri dan menyesuaikannya dengan kehidupan batin.
    
    Andaikata pada waktu itu Muhammad dibiarkan saja begitu, tentu
    takkan tertarik ia kepada harta. Dengan keadaannya itu ia akan
    tetap bahagia, seperti halnya dengan gembala-gembala  pemikir,
    yang  telah  menggabungkan alam ke dalam diri mereka dan telah
    pula mereka berada dalam pelukan kalbu alam.
    
    Akan tetapi Abu Talib pamannya - seperti sudah  kita  sebutkan
    tadi  -hidup  miskin dan banyak anak. Dari kemenakannya itu ia
    mengharapkan akan dapat memberikan tambahan rejeki  yang  akan
    diperoleh   dari   pemilik-pemilik   kambing  yang  kambingnya
    digembalakan. Suatu waktu ia mendengar berita, bahwa  Khadijah
    bint  Khuwailid mengupah orang-orang Quraisy untuk menjalankan
    perdagangannya. Khadijah adalah seorang wanita  pedagang  yang
    kaya  dan  dihormati, mengupah orang yang akan memperdagangkan
    hartanya itu. Berasal dari Keluarga (Banu) Asad, ia  bertambah
    kaya  setelah  dua  kali  ia  kawin  dengan  keluarga Makhzum,
    sehingga dia menjadi seorang penduduk Mekah yang  terkaya.  Ia
    menjalankan  dagangannya  itu dengan bantuan ayahnya Khuwailid
    dan beberapa orang  kepercayaannya.  Beberapa  pemuka  Quraisy
    pernah  melamarnya,  tetapi  ditolaknya.  Ia  yakin mereka itu
    melamar hanya karena  memandang  hartanya.  Sungguhpun  begitu
    usahanya itu terus dikembangkan.
    
    Tatkala Abu Talib mengetahui, bahwa Khadijah sedang menyiapkan
    perdagangan yang  akan  dibawa  dengan  kafilah  ke  Syam,  ia
    memanggil   kemenakannya  -  yang  ketika  itu  sudah  berumur
    duapuluh lima tahun.
    
    "Anakku," kata Abu Talib, "aku bukan orang  berpunya.  Keadaan
    makin   menekan  kita  juga.  Aku  mendengar,  bahwa  Khadijah
    mengupah orang dengan dua  ekor  anak  unta.  Tapi  aku  tidak
    setuju  kalau  akan  mendapat upah semacam itu juga. Setujukah
    kau kalau hal ini kubicarakan dengan dia?"
    
    "Terserah paman," jawab Muhammad.
    
    Abu Talibpun pergi mengunjungi Khadijah:
    
    "Khadijah, setujukah kau mengupah Muhammad?" tanya Abu  Talib.
    "Aku mendengar engkau mengupah orang dengan dua ekor anak unta
    Tapi buat Muhammad aku tidak setuju kurang dari empat ekor."
    
    "Kalau  permintaanmu  itu  buat  orang  yang  jauh  dan  tidak
    kusukai,  akan  kukabulkan,  apalagi buat orang yang dekat dan
    kusukai." Demikian jawab Khadijah.
    
    Kembalilah sang paman kepada kemenakannya dengan  menceritakan
    peristiwa  itu.  "Ini  adalah  rejeki  yang  dilimpahkan Tuhan
    kepadamu," katanya.
    
    Setelah mendapat nasehat paman-pamannya Muhammad pergi  dengan
    Maisara,  budak  Khadijah. Dengan mengambil jalan padang pasir
    kafilah  itupun  berangkat   menuju   Syam,   dengan   melalui
    Wadi'l-Qura,  Madyan  dan Diar Thamud serta daerah-daerah yang
    dulu pernah dilalui Muhammad dengan pamannya Abu Talib tatkala
    umurnya baru duabelas tahun.
    
    Perjalanan  sekali  ini telah menghidupkan kembali kenangannya
    tentag perjalanan yang pertama dulu itu. Hal ini menambah  dia
    lebih  banyak  bermenung, lebih banyak berpikir tentang segala
    yang pernah dilihat, yang pernah didengar sebelumnya:  tentang
    peribadatan   dan  kepercayaan-kepercayaan  di  Syam  atau  di
    pasar-pasar sekeliling Mekah.
    
    Setelah sampai di Bushra ia bertemu dengan agama Nasrani Syam.
    Ia  bicara  dengan  rahib-rahib dan pendeta-pendeta agama itu,
    dan seorang rahib Nestoria juga mengajaknya bicara. Barangkali
    dia  atau  rahib-rahib  lain  pernah  juga  mengajak Muhammad
    berdebat  tentang  agama  Isa,  agama  yang  waktu  itu  sudah
    berpecah-belah  menjadi  beberapa  golongan  dan sekta-sekta -
    seperti sudah kita uraikan di atas.
    
    Dengan kejujuran  dan  kemampuannya  ternyata  Muhammad  mampu
    benar  memperdagangkan  barang-barang  Khadijah,  dengan  cara
    perdagangan yang  lebih  banyak  menguntungkan  daripada  yang
    dilakukan orang lain sebelumnya. Demikian juga dengan karakter
    yang  manis  dan  perasaannya  yang  luhur  ia  dapat  menarik
    kecintaan  dan  penghormatan  Maisara  kepadanya. Setelah tiba
    waktunya mereka akan kembali,  mereka  membeli  segala  barang
    dagangan dari Syam yang kira-kira akan disukai oleh Khadijah.
    
    Dalam    perjalanan    kembali    kafilah   itu   singgah   di
    Marr'-z-Zahran.  Ketika  itu   Maisara   berkata:   "Muhammad,
    cepat-cepatlah    kau    menemui    Khadijah   dan   ceritakan
    pengalamanmu. Dia akan mengerti hal itu."
    
    Muhammad berangkat dan tengah  hari  sudah  sampai  di  Mekah.
    Ketika   itu  Khadijah  sedang  berada  di  ruang  atas.  Bila
    dilihatnya Muhammad di atas unta dan  sudah  memasuki  halaman
    rumahnya.  ia  turun  dan  menyambutnya.  Didengarnya Muhammad
    bercerita   dengan   bahasa   yang   begitu   fasih    tentang
    perjalanannya  serta  laba  yang  diperolehnya,  demikian juga
    mengenai barang-barang Syam yang dibawanya.  Khadijah  gembira
    dan  tertarik  sekali  mendengarkan.  Sesudah  itu  Maisarapun
    datang pula yang lalu bercerita juga tentang Muhammad,  betapa
    halusnya  wataknya,  betapa tingginya budi-pekertinya. Hal ini
    menambah  pengetahuan   Khadijah   di   samping   yang   sudah
    diketahuinya sebagai pemuda Mekah yang besar jasanya.
    
    Dalam  waktu  singkat  saja  kegembiraan  Khadijah  ini  telah
    berubah menjadi rasa cinta, sehingga dia - yang sudah  berusia
    empatpuluh  tahun,  dan yang sebelum itu telah menolak lamaran
    pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy  -  tertarik  juga
    hatinya  mengawini  pemuda  ini, yang tutur kata dan pandangan
    matanya telah menembusi kalbunya. Pernah ia  membicarakan  hal
    itu  kepada  saudaranya  yang  perempuan - kata sebuah sumber,
    atau dengan sahabatnya, Nufaisa  bint  Mun-ya  -  kata  sumber
    lain. Nufaisa pergi menjajagi Muhammad seraya berkata: "Kenapa
    kau tidak mau kawin?"
    
    "Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan,"  jawab
    Muhammad.
    
    "Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu cantik, berharta,
    terhormat dan memenuhi syarat, tidakkah akan kauterima?"
    
    "Siapa itu?"
    
    Nufaisa menjawab hanya dengan sepatah kata: "Khadijah."
    
    "Dengan cara bagaimana?" tanya Muhammad. Sebenarnya ia sendiri
    berkenan  kepada  Khadijah  sekalipun hati kecilnya belum lagi
    memikirkan soal perkawinan, mengingat Khadijah  sudah  menolak
    permintaan hartawan-hartawan dan bangsawan-bangsawan Quraisy.
    
    Setelah  atas pertanyaan itu Nufaisa mengatakan: "Serahkan hal
    itu kepadaku," maka iapun menyatakan persetujuannya. Tak  lama
    kemudian Khadijah menentukan waktunya yang kelak akan dihadiri
    oleh paman-paman Muhammad supaya dapat bertemu dengan keluarga
    Khadijah guna menentukan hari perkawinan.
    
    Kemudian perkawinan itu berlangsung dengan diwakili oleh paman
    Khadijah,  Umar  bin  Asad,  sebab  Khuwailid  ayahnya   sudah
    meninggal  sebelum  Perang  Fijar.  Hal  ini dengan sendirinya
    telah membantah apa yang biasa dikatakan,  bahwa  ayahnya  ada
    tapi  tidak menyetujui perkawinan itu dan bahwa Khadijah telah
    memberikan minuman keras sehingga ia mabuk dan  dengan  begitu
    perkawinannya dengan Muhammad kemudian dilangsungkan.
    
    Di  sinilah dimulainya lembaran baru dalam kehidupan Muhammad.
    Dimulainya kehidupan itu sebagai  suami-isteri  dan  ibu-bapa,
    suami-isten  yang  harmonis  dan sedap dari kedua belah pihak,
    dan sebagai ibu-bapa yang telah merasakan pedihnya  kehilangan
    anak sebagaimana pernah dialami Muhammad yang telah kehilangan
    ibu-bapa semasa ia masih kecil.
    
    Catatan kaki:
    
     1 Muhammad atau Mahmud artinya yang terpuji (A).
       
     2 Abwa' ialah sebuah desa antara Medinah dengan Juhfa,
       jaraknya 23 mil (37 km) dari Medinah.
       
     3 Al-Mu'allaqat nama yang diberikan kepada tujuh buah kumpulan
       puisi Arab pra Islam yang dianggap terbaik, oleh tujuh
       penyair: Imr'l-Qais, Tarafa, Zuhair, Labid, 'Antara, 'Amr ibn
       Kulthum dan Harith ibn Hilizza. Mu'allaqat berarti 'yang
       digantungkan' yakni sajak-sajak yang ditulis dengan tinta emas
       (almudhahhab) di atas kain lina (A).
       
     4 Pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku (A).

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Al - Quran

    Kisah

    Promo