Aqiqah merupakan salah satu syariat Islam. Dalil disyari’atkannya aqiqah adalah hadis nabi s.a.w., antara lain:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنْ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا (رواه أبو داوود)
“Dari Ibnu Abbas r.a., sesungguhnya rasulullah s.a.w. mengaqiqahkan (cucunya) Hasan dan Husein dengan masing-masing satu kambing” HR. Abu Dawud
عن عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُمْ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ (رواه الترمذي وصححه)
“Dari Aisyah r.a., sesungguhnya rasulullah s.a.w. memerintahkan kepada para sahabat untuk mengaqiqahkan anak laki-lakinya dengan dua kambing yang besar dan anak perempuan satu kambing” HR. al-Tirmidzi, dan menurutnya hadis ini shahih.
عَنْ سَمُرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى (رواه أحمد وصححه الترمذي)
“Dari Samurah r.a., nabi s.a.w. bersabda: setiap anak digadaikan dengan aqiqahnya, yang disembelih untuknya pada hari ke 7 kelahirannya, dan dicukur rambutnya dan diberi nama” HR. Ahmad, dan dianggap shahih oleh at-Tirmidzi.
Menjawab pertanyaan bapak tentang hukum aqiqah, perlu bapak ketahui bahwa ada perbedaan pendapat di antara para ulama. Secara ringkas bisa saya uraikan sbb:
- Pelaksanakan aqiqah wajib hukumnya. Pendapat ini merupakan pendapat mazhab Zhahiriyah. Alasannya, hadis-hadis di atas dengan jelas memuat kata perintah untuk melaksanakan aqiqah bagi anak yang dilahirkan. Setiap kata perintah dalam nash menunjukkan hukum wajib terhadap suatu hal yang diperintahkan, selagi tidak ada nash lain yang menyatakan bahwa hal yang diperintahkan tadi tidak wajib. Menurut mazhhab ini, dalam hal aqiqah tidak ditemukan nash yang menunjukkan bolehnya tidak melaksanakan aqiqah. Oleh karenanya hukumnya tetap wajib. Dalam hal ini Ibnu Hazm, ulama mazhab Zhahiriyah, menyatakan:
أمره عليه السلام بالعقيقة فرض كما ذكرنا لا يحل لاحد أن يحمل شيئا من أوامره عليه السلام على جواز تركها الا بنص آخر وارد بذلك والا فالقول بذلك كذب وقفو لما لا علم لهم به (المحلى ج7 ص 526)
“perintah rasulullah s.a.w. untuk melaksanakan aqiqah menunjukkan bahwa hukumnya wajib, karenanya tidak boleh bagi siapapun untuk mengartikan lain dari perintah beliau, misalnya menyatakan bolehnya tidak melaksanakannya, kecuali ada nash yang jelas menunjukkan hal tersebut. Jika tidak ada nash, maka pendapat seperti itu jelas keliru, yang tidak didasarkan atas ilmu”
- Hukumnya Sunnah. Pendapat ini merupakan pendapat sebagian besar ulama (jumhur ulama), misalnya mazhab Syafi’iyyah, mazhab Malikiyah, dan sebagian besar Mazhab Hanabilah. Alasannya, bahwa kalimat perintah dalam hadis-hadis di atas tidak menunjukkan hukum wajib, tapi menunjukkan hukum sunnah, karena ada hadis lain yang menunjukkan bahwa aqiqah tidak wajib, sbb:
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ أُرَاهُ عَنْ جَدِّهِ قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْعَقِيقَةِ فَقَالَ لَا يُحِبُّ اللَّهُ الْعُقُوقَ كَأَنَّهُ كَرِهَ الِاسْمَ وَقَالَ مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْهُ فَلْيَنْسُكْ عَنْ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ وَعَنْ الْجَارِيَةِ شَاةٌ (رواه أبو داوود)
“Dari Amr bin Syu’aib, dari bapaknya, dari kakeknya, radhiallahu anhum, ketika ditanya tentang aqiqah, rasulullah s.a.w. menjawab: Allah SWT tidak menyukai kata aqiqah (seakan beliau tidak suka menyebut istilah tersebut), beliau melanjutkan: siapa yang mempunyai anak dan ingin mendapatkan pahala, maka lakukanlah (aqiqah tersebut), bagi anak laki-laki dua ekor kambing dan bagi anak perempuan satu ekor kambing” HR. Abu Dawud
Selain itu, kelompok ini juga beralasan bahwa aqiqah tidak disebabkan oleh nazar dan pelaksanaan hukum pidana, oleh karenanya hukumnya tidak wajib, sebagaimana disampaikan oleh al-Imam an-Nawawi sbb:
ولانه إراقة دم من غير جناية ولا نذر فلم يجب كالاضحية (المجموع شرح المهذب ج 8 ص 342)
“(tidak wajib) karena (aqiqah adalah) mengalirkan darah (menyembelih kambing) tidak disebabkan oleh adanya hukum pidana, dan tidak disebabkan oleh nazar, karenanya hukumnya tidak wajib, seperti hukum berkurban”
- Hukumnya Makruh. Pendapat ini merupakan pendapat mazhab Hanafiyah. Alasannya, bahwa aqiqah merupakan tradisi jahiliyah dan diteruskan ketika datang Islam, akan tetapi kemudian tradisi ini dihapus dengan syariah kurban (udhhiyah). Dalilnya adalah hadis berikut:
عَنْ عَلِىٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « نَسَخَ الأَضْحَى كُلَّ ذَبْحٍ وَصَوْمُ رَمَضَانَ كُلَّ صَوْمٍ وَالْغُسْلُ مِنَ الْجَنَابَةِ كُلَّ غُسْلٍ وَالزَّكَاةُ كُلَّ صَدَقَةٍ ». رواه الدار قطني
“Dari Ali r.a., rasulullah s.a.w. bersabda: kurban mengganti (hukum) setiap sembelihan (misalnya untuk aqiqah), puasa Ramadhan mengganti semua puasa, mandi janabah menganti setiap mandi, dan zakat menasakh semua sedekah” HR. Daru Quthni
Dalam kitab Badai’ as-Shanai’, kitab mazhab Hanafiyah, disebutkan sbb:
وَالْعَقِيقَةُ كَانَتْ قَبْلَ الْأُضْحِيَّةِ فَصَارَتْ مَنْسُوخَةً بِهَا، وَالْعَقِيقَةِ مَا كَانَتْ قَبْلَهَا فَرْضًا بَلْ كَانَتْ فَضْلًا وَلَيْسَ بَعْدَ نَسْخِ الْفَضْلِ إلَّا الْكَرَاهَةُ. (بدائع الصنائع ج 11 ص 12)
“Aqiqah disyari’atkan sebelum datangnya syari’at kurban, setelah turun syari’at kurban maka syari’at aqiqah digantikan oleh syari’at kurban. Sebelum turunnya syariat kurban, hukum aqiqah tidaklah wajib, tapi hanya merupakan keutamaan saja. Suatu keutamaan jika telah diganti oleh syariat lainnya maka hukumnya menjadi makruh”.
Dari ketiga pendapat tersebut MUI lebih condong kepada pendapat kedua yang menyatakan bahwa aqiqah hukumnya sunnah. Menurut MUI, dalil dan argumentasi (hujjah) kelompok kedua ini lebih kuat. Hadis yang dipakai dalil oleh mazhab Hanafiyah adalah hadis yang dha’if (lemah) oleh karenanya tidak bisa dijadikan sandaran untuk menetapkan suatu hakum. Al-Imam as-Syafi’i rahimahumullah menyatakan:
قال الشافعي رحمه الله "افرط في العقيقة رجلان رجل قال انها واجبة ورجل قال انها بدعة" (المجموع ج 8 ص 447)
“Dalam hal aqiqah ada dua kelompok orang yang kebablasan, pertama yang menyatakan aqiqah wajib, dan kedua yang menyatakan aqiqah bid’ah”
Pertanyaan kedua tentang Manfaat aqiqah. Perlu kita yakini bahwa setiap yang disyariatkan oleh Allah SWT pasti akan membawa manfaat bagi yang melaksanakannya, termasuk aqiqah. Para ulama telah mengungkap berbagai hikmah dari aqiqah, misalnya sebagaimana yang diuraikan oleh imam ar-Ramli, salah satu ulama besar mazhab Syafi’iyyah, dalam kitabnya Nihayah al-Muhtaj syarh al-Minhaj sbb:
وَالْمَعْنَى فِيهِ إظْهَارُ الْبِشْرِ وَالنِّعْمَةِ وَنَشْرُ النَّسَبِ
“hikmah dari aqiqah adalah untuk menampakkan rasa gembira dan rasa syukur atas nikmat yang telah dianugerahkan. Dan untuk menyiarkan kepada publik tentang adanya ikatan nasab (antara orang tua dan anak yang dilahirkan)”
Keterangan imam ar-Ramli tersebut menegaskan bahwa selain sebagai ungkapan rasa syukur orang tua atas nikmat dianugerahi seorang anak, aqiqah juga dapat menjadi media untuk mengumumkan kepada publik bahwa anak yang telah dilahirkan tersebut adalah bagian dari keluarga tersebut, sehingga di kemudian hari jika ada perkara perdata, misalnya masalah waris ataupun pernikahan, maka publik bisa menjadi saksi dari hal tersebut. Tentu saja ini sangat bermanfaat bukan saja bagi orang tua, tapi juga bagi si anak.
Pertanyaan ketiga, yakni bila seorang bayi yang baru lahir meninggal, apakah kedua orang tuanya juga beraqiqah?
Sebelum menjawab, saya ingin mengingatkan bahwa sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas bahwa aqiqah sebaiknya dilakukan pada hari ke tujuh setelah kelahiran. Namun demikian, setelah hari ke tujuh lewat tetap saja disunnahkan untuk melaksanakan aqiqah, karena menurut sebagian riwayat yang shahih bahwa rasululah s.a.w. sendiri melaksanakan aqiqah bagi dirinya ketika umur 40 tahun.
Nah, waktu tujuh hari dari masa kelahiran inilah yang menjadi titik pangkal perbedaan ulama dalam menghukumi apakah masih tetap disunnahkan aqiqah ketika bayinya meninggal. Menurut sebagian besar ulama Syafi’iyyah, jika bayi meninggal, baik sebelum atau setelah umur tujuh hari, tetap disunnahkan untuk diaqiqahkan. Tetapi ada juga ulama Syafi’iyah yang berpendapat bahwa syari’at aqiqah menjadi gugur seiring dengan meninggalnya si anak tersebut.
Sedangkan menurut ulama Malikiyah apabila umur anak yang meninggal tersebut kurang dari tujuh hari, maka tidak disunnahkan untuk diaqiqahkan, karena belum mencapai usia tujuh hari yang merupakan waktu dianjurkannya untuk melaksanakan aqiqah, sebagaimana diisyaratkan dalam hadis di atas. Akan tetapi apabila meninggalnya setelah umur 7 hari maka tetap disunnahkan untuk diaqiqahkan.
Pertanyaan terakhir, dapatkah biaya pembelian kambing untuk aqiqah didapatkan dari meminjam?
Perlu saya sampaikan bahwa aqiqah, sebagaimana uraian di atas, hukumnya adalah sunnah. Artinya, bagi orang yang tidak mempunyai kelebihan dana untuk beraqiqah, maka tidak usah dipaksakan, misalnya dengan meminjam. Allah SWT tidak mentaklifkan (membebankan) sesuatu kecuali sesuai kemampuanya.
Di samping itu, kalau belum mampu diaqiqahkan pada saat umur 7 hari, maka boleh dilaksanakan setelah itu, ketika kondisi keuangan sudah memungkinkan. Bahkan kalau misalnya orang tua belum mampu mengaqiqahkan anaknya sampai orang tua tersebut meninggal, maka juga tidak berdosa. Si anak setelah besar dan mampu tetap disunnahkan untuk mengaqiqahkan dirinya, sebagaimana yang dilakukan oleh rasulullah s.a.w. Namun demikian apabila orang tua tetap mengaqiqahkan anaknya walaupun dari hasil meminjam, maka aqiqah tersebut tetap sah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar