Galih Gumelar center – Di tengah kerumunan murid-muridnya, seorang sufi terisak menangis. Ia pedih melihat kenyataan hidup yang mulai semrawut. Antara halal dan haram mulai berbaur tidak jelas. ”Dosa-dosa sedang merata di mana-mana, ibarat air hujan yang turun deras dari langit, lalu tumpah di muka bumi. Tak seorang pun bisa mengelak dari kungkungan dosa-dosa itu, tak terkecuali orang saleh sekali pun,” demikian paparnya.
Seorang murid bertanya, ”Lalu apa jalan keluarnya, wahai Guru?” ”Perbanyaklah mukaffarat al-dzunub (pelebur dosa)!” jawab sang guru singkat. Umumnya ulama membagi dosa menjadi dua: dosa besar (kaba-ir) dan dosa kecil (shaga-ir).
Dosa apapun, besar atau kecil, akan menumpulkan hati, sehingga pelakunya makin jauh dari sisi Tuhan dan terseret ke dalam murka-Nya. Memang setiap anak Adam berpotensi pendosa (khattha’). Tetapi sebaik-baik pendosa adalah yang mau tobat (tawwab). Demikian penjelasan oleh Nabi SAW.
Allah yang Maha Penyayang telah membentangkan jalan-jalan bagi penghapusan dosa. Dosa besar — sepanjang tidak menyangkut hak-hak sesama manusia — akan diampuni dengan syarat tobat. Seperti disabdakan Nabi SAW, ”Andaikan dosa-dosa seseorang menumpuk setinggi langit, lalu ia bertobat kepada Allah, niscaya akan diterima tobatnya.” Malaikat pencatat amal konon dibuat lupa di hadapan Allah akan dosa-dosa orang yang bertobat.
Nabi Muhammad SAW memberi contoh bagaimana sebuah tindakan kebaikan dapat mengikis dosa. Beliau bertanya kepada para sahabatnya, ”Jika ada sungai mengalir di muka rumah, lalu penghuninya mandi lima kali sehari, masihkah tersisa sedikit kotoran dari tubuhnya?”
Mereka menjawab, ”Tak akan ada sedikit pun.” Lalu kata Nabi SAW, ”Pula salat lima waktu dapat menghapus dosa-dosa.” Sebagaimana salat lima waktu, salat Jumat ke Jumat dan puasa Ramadhan ke Ramadhan berikutnya, adalah pelebur dosa-dosa yang timbul antara keduanya. Apalagi bila selama Ramadhan, si hamba meramaikannya dengan salat, tadarus, dan sedekah.
Dengan lunturnya dosa-dosa itu, sebagai hasil positif puasa Ramadhan, fajar baru mesti menyingsing. Kita terlahir kembali sebagai ‘manusia baru’, yakni makhluk yang telah menghiaskan dirinya dengan sifat-sifat Tuhan Sang Mahamulia: adil, pemurah, penyayang, penegak kebenaran, dan seterusnya.
Ustadz Galih Gumelar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar