Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat. Paling tidak para ulama terbagi pada tiga pendapat.
Pendapat pertama berpendapat bahwa orang yang sedang junub, juga wanita yang haid dan nifas tidak diperbolehkan membaca ayat al-Qur'an meskipun hanya satu ayat saja. Pendapat ini dinisbahkan kepada pendapat Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib, Hasan Bashri, Qatadah, Imam an-Nakhai dan lainnya.
Pendapat kedua mengatakan bahwa wanita yang sedang haid, nifas diperbolehkan untuk membaca al-Qur'an sekehendak hati. Sedangkan bagi yang sedang berhadats besar, ia hanya diperbolehkan membaca dua ayat atau kurang dari itu saja. Pendapat ini dinisbahkan kepada Imam Malik.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa wanita haid, nifas atau orang yang berhadats besar diperbolehkan untuk membaca ayat al-Qur'an sekehendak hati. Hal ini karena hadits-hadits yang melarang wanita haid, junub dan nifas membaca al-Qur'an, semuanya adalah dhaif , sehingga tidak dapat dijadikan pegangan dalam menetapkan hukum. Pendapat ketiga ini adalah pendapatnya Ibnu Hazm. Untuk mengetahui alasan lengkap Ibnu Hazm dalam hal ini, dapat dilihat dalam bukunya al-Muhalla: 1/71 dan seterusnya.
Di antara pendapat Jumhur yang mengatakan tidak boleh wanita haid membaca al-Qur'an adalah firman Allah yang berbunyi: "Tidak boleh menyentuhnya melainkan orang yang suci" (Laa yamassuhu illal muthahharuun) (QS. al-Waqiah: 79). Jumhur memahami yang dimaksud dengan kata al-mutahharun itu adalah orang yang suci baik dari hadats kecil (punya wudhu), maupun hadats besar (sudah mandi junub). Nah, apabila memegang dan menyentuhnya saja tidak boleh bagi yang belum suci, apalagi membacanya tentu lebih tidak diperbolehkan lagi.
Adapun hadits yang dijadikan dalil oleh Jumhur di antaranya adalah:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((لا تقرأ الØائض ولا الجنب شيئا من القرآن)) [رواه الترمذى
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Orang yang haid dan junub tidak boleh membaca sedikitpun dari ayat al-Qur'an". (HR. Tirmidzi)
Juga berdasarkan ucapan Sayyidina Ali:
عن علي قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقرئنا القرآن على كل Øال, ما لم يك جنبا (رواه النسائى)
Artinya: "Rasulullah Saw senantiasa membacakan al-Qur'an untuk kami dalam semua keadaan kecuali dalam keadaan junub". (HR. Nasa'i).
Sedangkan pendapat yang membolehkan wanita haid membaca alQur'an, yang dipelopori oleh Ibnu Hazm, berdalil bahwa kata al-Mutahharun dalam ayat di atas, maksudnya bukan orang suci tapi orang yang disucikan (sebagaimana ia menggunakan shigat maf'ul, yang dalam bahasa Arab berarti disucikan). Dan mereka yang disucikan yang dimaksud dalam ayat di atas adalah para malaikat, bukan manusia. Jadi ayat di atas maksudnya tidak boleh menyentuh al-Qur'an yang di Lauhul Mahfuz (dan bukan mushaf al-Qur'an yang ada di bumi), melainkan hanya boleh disentuh oleh para malaikat saja. Jadi, menurut pendapat ini, dalil tersebut tidak cocok dijadikan dalil oleh Jumhur ulama, karena yang dimaksud bukan mushaf al-Qur'an sekarang, tapi al-Qur'an yang di Lauhul Mahfuzh.
Kedua, hadits-hadits yang dijadikan dalil oleh Jumhur semuanya dhaif, dan karenanya tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Karena tidak ada dalil yang valid tentang larangan wanita haid membaca al-QUr'an, maka dikembalikan kepada kaidah asal, yakni al-baraa'ah al-ashliyyah, artinya wanita haid pun diperbolehkan membaca al-Qur'an sebagaimana yang lainnya.
Hemat saya, pendapat Jumhur ulama lebih kuat dalam hal ini. Karena hadits-hadits yang melarang wanita haid membaca al-Qur'an itu memang ada yang lemah, tapi juga dikuatkan oleh banyak hadits yang kuat (shahih), karena itu dapat dijadikan hujjah. Di samping apa yang dilakukan oleh para sahabat, yang juga melarang seseorang membaca al-QUr'an apabila sedang berhadats besar. Namun, larangan ini tidak sampai kepada haram. Hanya, sifatnya lebih baik tidak dilakukan oleh wanita haid.
Adapun untuk wanita haid yang sedang belajar mengaji, yang mana waktu belajarnya sangat terbatas, misalnya hanya bisa satu bulan sekali, mengingat pekerjaan atau karena tinggal di luar negeri yang ustadz sangat terbatas sekali, hemat saya, untuk kasus seperti ini diperbolehkan wanita haid sekalipun untuk membaca al-Qur'an. Niatkan dalam hatinya untuk belajar membaca al-Qur'an, dengan tidak ada maksud merendahkan al-Qur'an. Dan sebaiknya, bagi wanita haid yang belajar al-QUr'an ini, sebelum memulai membaca, sebaiknya mengambil air wudhu terlebih dahulu.
Namun, bagi yang sudah lancar bacaaan al-QUr'annya, hemat saya, ambil pendapat jumhur, sebaiknya ia tidak membaca al-Qur'an. Untuk mengisi kekosongan, perbanyaklah berdzikir dan berdoa kepada ALlah. Dzikir dan doa, menurut seluruh ulama diperbolehkan bahkan sangat dianjurkan bagi wanita yang sedang berhadats besar, sebagai upaya mengisi kekosongan ruhani, karena shalat dan puasa tidak dapat dilakukannya. Demikian, semoga jelas. Wallahu a'lam bis shawab.www.galihgumelar.com
Terima kasih Ustadz Galih Untuk Tausiyah dan pencerahannya....Semoga Ustadz Galih Gumelar semakin barokah..amin...!!!
BalasHapus