- Zakat untuk pembantu
- Zakat THR
- Zakat untuk kerabat atau saudara
- Zakat kepada anak, istri dan orang tua
- Zakat untuk biaya orang tua pergi haji
- Zakat harta warisan
- Zakat uang pinjaman
- Zakat rumah dan kendaraan
- Zakat dari penjualan rumah dan kendaraan
- Zakat untuk guru mengaji
- Zakat untuk anak yatim
- Zakat untuk pembangunan masjid
- Zakat tanah
- Imam Harmain al-Juwaini, yang termasuk mazhab Syafi’I berkata : “Dalil yang dijadikan pegangan oleh sahabat-sahabat kami adalah bahwa zakat itu adalah pengabdian kepada Allah, dan setiap perbuatan demikian (yang mengandung unsur pengabdian kepada Allah), maka harus mengikuti perintah Allah.” Sebagai contoh, apabila seseorang menyuruh kepada orang suruhannya ,”belikanlah untukku seekor kambing !” orang suruhan tersebut mengetahui bahwa yang diinginkan oleh majikannya itu adalah kambing, dan orang suruhan tersebut tidak boleh menyalahi suruhan majikannya meskipun orang suruhan tersebut melihat binatang-binatang lainnya yang lebih bagus dan harganya lebih murah.
- Abu Daud dan Ibnu Majah meriwayatkan bahwa Rosulullah telah bersabda kepada Mu’az ketika ia diutus ke Yaman : “Ambillah biji-bijian dari biji-bijian, domba dari domba, unta dari unta dan sapi dari sapi.” Ini adalah nash yang wajib diikuti, oleh karena itu tidak boleh mengeluarkan zakat dari apa yang disebutkan diatas dengan uang. Karena jika membayarnya dengan uang, maka yang akan terjadi adalah biji-bijian dikeluarkan zakatnya dari harta yang bukan dari biji-bijian, dan kambing dikeluarkan zakatnya dari harta yang bukan dari kambing. Dan ini bertentangan dengan apa yang diperintahkan oleh hadits.
- Allah s.w.t. berfirman : “Pungutlah dari harta mereka zakat.” Ayat ini menunjukkan bahwa yang dipungut itu adalah harta, dan uang adalah harta juga, sehingga uang termasuk apa yang dimaksud dalam ayat tersebut. Adapun penjelasan nabi yang menerangkan kemujmalan ayat al-Qur’an tersebut, seperti : “pada setiap empat puluh ekor domba, seekor domba,” itu semata-mata hanya untuk memudahkan pemilik ternak dan bukan merupakan syarat yang diwajibkan, karena pemilik ternak terkadang tidak mempunyai uang dan membayar sesuai dengan apa yang mereka miliki akan lebih memudahkan mereka.
- Telah berkata Mu’az kepada penduduk Yaman ketika memungut zakat dari mereka,”Datangkanlah oleh kalian kepadaku dengan baju atau pakaian, yang akan kuambil untuk menggantikan zakat kalian, karena hal itu akan lebih memudahkan kalian semua dan lebih baik bagi kaum Muhajirin di Madinah.” Mu’az mengatakan hal tersebut karena penduduk Yaman terkenal sebagai pembuat kain dan pakaian, maka dengan mengeluarkan zakat dalam bentuk pakaian, hal tersebut bagi penduduk yaman akan lebih memudahkan.
- Imam Ahmad dan Baihaqi meriwayatkan bahwa Rosulullah telah melihat unta yang telah berumur pada unta yang dikeluarkan untuk zakat, kemudian beliau marah dan berkata : “Semoga Allah melaknat petugas yang mengambil unta ini.” kemudian petugas itu berkata : “Wahai Rosulullah, aku akan menukarkan unta ini dengan dua unta yang layak untuk zakat.” Nabi bersabda : “boleh, kalau demikian.” Hadits ini pantas untuk dijadikan hujah baik dari segi sanad maupun dalalah, bahwa menukarkan satu unta dengan dua unta, pasti berdasarkan harga.
- Bahwa tujuan zakat adalah untuk memberikan kecukupan kepada fakir miskin, memberikan kebutuhan orang yang membutuhkan dan menegakkan kemaslahatan bersama bagi agama dan umat. Ini bisa dicapai dengan mengeluarkan harga (uang) sebagaimana bisa dicapainya dengan mengeluarkan kambing. Bahkan terkadang dengan mengeluarkan dalam bentuk uang hal tersebut akan lebih memudahkan.
- Berdasarkan kesepakatan ulama bahwa diperbolehkan pindah dari suatu benda kepada benda lain yang tidak sejenis. Misalnya orang yang mengeluarkan zakat kambing, boleh mengeluarkan zakat kambing yang bukan dari kambingnya. Atau orang yang mengeluarkan zakat biji-bijian, boleh mengeluarkan zakat biji-bijian dari biji-bijian yang bukan dari tanamannya.
- Sa’id Bin Mansur meriwayatkan dalam sunannya dari Atha, ia berkata “Adalah Umar Bin Khattab memungut dirham (uang perak) dari harta sedekah (zakat).”
- Apabila hal tersebut dapat mengakibatkan kemaslahatan bagi Islam dan kaum muslimin.seperti disuatu daerah yang mayoritas penduduknya mengalami kemiskinan dan didaerah tersebut terdapat pemurtadan yang dilakukan oleh agama lain dengan iming-iming bantuan ekonomi, maka mereka harus lebih diprioritaskan dalam pembagian zakat. Karena jika tidak, maka mereka akan menjadi murtad dan akan berpaling dari agama Islam. Ini adalah sesuatu yang sangat berbahaya, apalagi mayoritas penduduk umat Islam diIndonesia adalah fakir miskin. Apabila mereka murtad dari agama hanya karena mereka miskin dan membutuhkan makanan sekedar untuk menegakkan tubuh mereka, maka kita dapat menyelamatkan mereka dari pemurtadan dengan memberikan mereka dana zakat.
- Apabila didaerah dimana zakat dikumpulkan, sudah tidak ada lagi orang yang membutuhkan.
- Apabila setelah zakat tersebut dibagikan didaerah dimana zakat dikumpulkan dan ternyata masih ada sisa, maka zakat yang masih tersisa tersebut dapat disalurkan kedaerah lain yang membutuhkan.
- Boleh zakat disalurkan kedaerah lain, apabila seorang muzakki mempunyai seseorang atau kerabat yang sangat membutuhkan ditempat lain.
- Zakat piutang
- Piutang atas orang yang mengakui dan akan membayarnya. Mengenai hal ini ada beberapa pendapat dari para ulama :
- Pendapat pertama : Orang yang mempunyai piutang tersebut wajib membayar zakat, namun tidak wajib membayar zakat kecuali setelah piutang tersebut diterimanya. Ini adalah pendapat dari mazhab Ali, Tsauri, Abu Tsaur, Ahnaf, yakni golongan Hanafi dan pengikut Hanbali.
- Pendapat kedua : Orang yang mempunyai piutang wajib mengeluarkan zakat dengan segera, meskipun piutang itu belum diterimanya. Dalam hal ini piutang diibaratkan harta yang dititipkan, karena kita dapat menagih dan membelanjakannya. Ini adalah pendapat dari mazhab Utsman, Ibnu Umar, Jabir, Thawus, Nakha’I, Hasan, Zuhri, Qatadah dan Syafi’i.
- Pendapat ketiga : Orang yang mempunyai piutang tidak wajib membayar zakat, karena harta itu tidak bertambah, sama seperti halnya barang-barang tetap. Ini adalah pendapat mazhab Ikrimah dan menurut berita, juga pendapat Aisyah dan Ibnu Umar.
- Pendapat keempat : Orang yang mempunyai piutang harus mengeluarkan zakat apabila piutang tersebut telah diterimanya dan telah berada ditangannya selama satu tahun. Ini adalah pendapat mazhab Sa’id Ibn Musayyib dan Atha Bin Abi Ribah.
- Piutang atas orang miskin, atau atas orang yang tidak mengakuinya, atau atas orang yang melalaikan pembayarannya. Jika demikian halnya, menurut satu pendapat, tidak wajib zakat. Ini merupakan pendapat Qatadah, Ishaq, Abu Tsaur, dan golongan Hanafi. Alasannya adalah karena harta tersebut tidak dapat dimanfaatkan.
- Zakat untuk biaya pendidikan dan kesehatan
- Zakat kepada keluarga (anak, istri, orang tua)
- Zakat Maskawin
Zakat adalah harta yang kita keluarkan dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh agama dan disalurkan kepada orang-orang tertentu pula sebagaimana yang dijelaskan dalam al-Qur’an. Ada ketentuan lain dari zakat yaitu bahwa zakat tidak boleh disalurkan kepada orang-orang yang menjadi tanggungan kita. Misalnya istri dan anak, karena mereka semua adalah tanggung jawab kita untuk memberikan nafkah kepada mereka, dalam artian, mereka adalah tanggungan kita.
Adapun orang yang bukan menjadi tanggungan kita seperti halnya pembantu, maka boleh menyalurkan zakat kepada mereka. Meskipun kebutuhan mereka semuanya ditanggung oleh majikan mereka, seperti makan minum dan tempat tinggal, tapi semua adalah bagian dari upah pembantu atas kerjanya dirumah tersebut. Karena kebanyakan orang menggaji pembantu dengan nilai tertentu, karena mereka sebelumnya sudah memperhitungkan tentang biaya makan dan lain-lain yang akan diterima pembantu dirumah tersebut.
Jadi, pada dasarnya tanggungan yang diberikan majikan atas pembantu bukan merupakan tanggungan yang sebenarnya, tapi itu adalah bagian dari gaji, karena para majikan sudah memperhitungkan semua itu sebelumnya.
THR adalah tunjangan hari raya yang diberikan oleh instansi atau perusahaan kepada para karyawan. Karena itu pada hakekatnya THR merupakan bagian dari penghasilan seseorang, karena THR yang didapatkan berhubungan dengan pekerjaannya sebagai seorang pekerja diperusahaan dimana ia bekerja. Disamping itu biasanya suatu perusahaan dalam membuat pembukuan sudah memasukkan THR kedalam perencanaan anggaran pengeluaran yang umumnya dimasukan kedalam gaji karyawan, namun diberikan kepada karyawan secara khusus pada hari raya.
Untuk itu para ulama umumnya memasukkan THR dalam kategori penghasilan bukan hadiah, dan THR yang kita terima dimasukkan dalam kategori gaji dan harus dibayarkan zakatnya sama dengan zakat profesi. Jadi ketika menerima THR langsung dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 %. Membayarkannya boleh secara tersendiri, atau bisa juga digabungkan dengan gaji yang diterima pada bulan tersebut.
Pada dasarnya ketentuan penyaluran zakat telah dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Adapun penyaluran zakat untuk kerabat yang masih mempunyai hubungan darah seperti saudara kandung, paman, keponakan dan lain-lain, selama mereka memenuhi kriteria yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an yaitu delapan golongan, menurut sebagian ulama diperbolehkan.
Misalnya kita mempunyai saudara kandung yang miskin, atau mempunyai paman yang miskin, maka boleh menyalurkan zakat kepada mereka. Tapi ada sebagian ulama yang tidak setuju dengan hal tersebut, karena menurut mereka apabila kita mempunyai saudara yang miskin, maka mereka adalah tanggung jawab kita dan mereka adalah tanggungan kita, maka tidak boleh menyalurkan zakat kepada mereka.
Kebalikan dari hal diatas, bahwa menyalurkan zakat seseorang kepada anak, istri ataupun orang tuanya, hal itu tidak diperbolehkan menurut para ulama, karena mereka adalah orang-orang yang berada dalam tanggungannya. Kecuali apabila seorang istri menyalurkan zakat kepada suaminya, maka hal tersebut diperbolehkan, karena seorang suami bukanlah tanggungan istrinya, tapi sebaliknya suamilah yang harus menanggung dan menafkahi istri. Seorang istri yang memberikan zakat kepada suaminya pernah terjadi pada zaman Rosulullah, yaitu terjadi kepada Ibnu Mas’ud yang mendapatkan zakat dari istrinya karena Ibnu Mas’ud adalah seorang yang miskin, sedangkan istrinya adalah seorang yang kaya. Hal itu dilakukan oleh istrinya setelah menanyakan terlebih dahulu kepada Rosulullah.
Sudah mengeluarkan zakat profesi, haruskah mengeluarkan lagi zakat lainnya ?
Perlu diketahui bahwa zakat profesi adalah zakat yang berbeda dengan zakat lainnya, masing-masing mempunyai syarat tersendiri yang menjadikannya harus ditunaikan. Dahulu, Rosulullah telah mewajibkan zakat emas dan perak, padahal Rosulullah pun tahu bahwa emas dan perak yang mereka miliki adalah dari hasil usaha mereka seperti perdagangan. Jika kita berfikiran bahwa kita tidak wajib mengeluarkan zakat emas dengan alasan bahwa kita sudah mengeluarkan zakat penghasilan kita, tentu Rosulullah pun tidak akan mewajibkan zakat emas dan perak, karena tentu zakat emas dan perak sendiri berasal dari hasil usaha mereka yang hasil usaha merekapun Rosulullah memerintahkan untuk dikeluarkan zakatnya.
Contoh lain yang semisal dengannya adalah seseorang yang mempunyai tabungan yang sudah dikeluarkan zakatnya, kemudian dari uang tabungan itu ia jadikan modal usaha dagang, apakah harus dikeluarkan lagi zakat perdagangannya ? jawabannya adalah iya, karena uang simpanan adalah kewajiban harta kita yang harus kita tunaikan, sedangkan perdagangan adalah kewajiban harta kita yang lain yang juga harus kita tunaikan. bahkan apabila dari uang tabungan tersebut kemudian selain kita jadikan modal dagang juga kita belikan emas juga tanah pertanian, maka emas dan pertanianpun tetap harus dikeluarkan zakatnya.
Memang ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa pergi haji masih merupakan bagian fisabilillah, oleh karena itu mereka memperbolehkan mengeluarkan zakat untuk pergi berhaji yang diambil dari pos fisabilillah. Tapi sebagian ulama lain tidak sependapat, karena haji tidak diwajibkan kecuali bagi orang yang mampu, sedangkan orang yang tidak mampu, maka mereka tidak wajib pergi haji. Adapun mengeluarkan zakat untuk biaya orang tua pergi haji, maka para ulama bersepakat atas ketidak bolehannya, karena orang tua adalah tanggungan kita, dan kita tidak boleh menyalurkan zakat kepada orang yang menjadi tanggungan kita sendiri, baik orang tua, anak ataupun istri.
Wanita bekerja, haruskah berzakat ?
Allah mewajibkan zakat kepada kaum muslimin secara umum sebagaimana yang tercantum dalam berbagai ayat Al-Qur’an. Tidak ada satu dalilpun yang mengkhususkan kewajiban zakat dibebankan hanya kepada laki-laki saja, tetapi juga dibebankan kepada para wanita apabila hartanya telah memenuhi syarat wajib zakat, seperti kisah istri Ibnu Mas’ud yang mengeluarkan zakat untuk suaminya.
Pada dasarnya, pewajiban zakat pada harta warisan tidak pernah ditemukan dalil-dalil nya dari hadits-hadits Rosulullah ataupun dari keterangan para sahabat, untuk itu tidak ada yang disebut dengan zakat warisan. Tetapi biasanya warisan yang diterima adalah dalam bentuk harta, dan inilah sebenarnya yang dimaksud dengan warisan yang harus dikeluarkan zakatnya, yaitu harta dari warisan tersebut. Itupun harta warisan tersebut harus dibagikan terlebih dahulu kepada para ahli warisnya, setelah itu dilihat juga apakah harta tersebut sudah memenuhi syarat-syarat harta wajib zakat setelah dipegang oleh ahli warisnya, seperti nishab dan haul, atau tidak. jika sudah memenuhi, maka harta warisan tersebut wajib dikeluarkan zakatnya, jika belum memenuhi, maka harta warisan tersebut tidak wajib zakat.
Adapun sistem perhitungannya adalah sama dengan zakat emas apabila harta warisan tersebut dalam bentuk emas, uang simpanan dibank, ataupun dalam bentuk simpanan lainnya. Jika harta warisan yang diterima tersebut dalam bentuk perusahaan perdagangan, maka zakat yang dikeluarkan adalah sama dengan zakat perdagangan. Begitupun jika harta warisan tersebut dalam bentuk pertanian, maka zakat yang dikeluarkannya pun sama dengan zakat pertanian. Pengeluaran zakat dari harta warisan digabungkan dengan harta lain yang akan dikeluarkan zakatnya.
Seseorang yang meminjam sesuatu, baik dalam bentuk barang ataupun dalam bentuk uang, berarti orang tersebut adalah orang yang membutuhkan. Bahkan orang yang berhutang merupakan salah satu golongan yang berhak menerima zakat. Tapi bukan berarti semua bentuk hutang dapat dibayarkan dari zakat. Menurut para ulama ada beberapa jenis hutang yang menjadikan orang yang berhutang berhak untuk mendapatkan zakat :
Pertama, orang yang berhutang untuk kemaslahatan dan memenuhi kebutuhan pokok pribadi dan keluarga yang menjadi tanggungannya.
Kedua, orang yang berhutang untuk kemaslahatan umum, seperti orang yang mendamaikan dua kelompok yang bertikai, dan untuk mendamaikan ini ia memerlukan dana, kemudian ia meminjam kepada orang lain. Mereka itulah orang-orang yaang berhak mendapatkan zakat.
Adapun orang yang mempunyai hutang untuk bisnis, jika pada waktu jatuh tempo ia tidak mempunyai sesuatu untuk membayar hutangnya, maka menurut sebagian ulama mereka berhak menerima zakat. Namun bagi mereka yang berhutang untuk bisnis, meskipun mereka mempunyai hutang tapi kehidupan mereka sangat berkecukupan, seperti para bisnisman dan para konglomerat yang sebenarnya banyak diantara mereka memiliki hutang, maka mereka adalah orang-orang yang wajib mengeluarkan zakat dan bukan orang yang berhak menerima zakat.Allah telah mewajibkan zakat atas harta yang dimiliki oleh kaum muslimin. Tapi bukan berarti bahwa semua harta kaum muslimin terkena kewajiban zakat. Ada beberapa syarat yang menjadikan harta wajib zakat. Salah satunya adalah harta tersebut harus diluar dari kebutuhan pokok, dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok kaum muslimin, maka tidak dikenakan zakat, seperti rumah, pangan, pakaian, kendaraan yang digunakan setiap hari untuk keperluan, dan lain-lain.
Jadi segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok seperti yang telah disebutkan diatas, tidak harus dikeluarkan zakatnya. Tetapi menurut sebagian ulama, apabila kebutuhan pokok yang dimiliki melebihi apa yang dibutuhkan, maka diluar yang dibutuhkan itu harus dikeluarkan zakatnya. Contohnya adalah rumah. Rumah merupakan salah satu kebutuhan manusia yang asasi. Dengan adanya rumah, manusia dapat berlindung dari marabahaya, dari panasnya terik matahari dan dari hujan yang turun, namun yang dibutuhkan oleh manusia atas rumah menurut pada umumnya hanya satu rumah.
Jadi apabila seseorang memiliki rumah lebih dari satu, misalnya memiliki empat, maka sisa dari yang dibutuhkan, yaitu sejumlah tiga rumah harus dikeluarkan zakatnya. Begitupun dengan kendaraan. Dengan kendaraan manusia dapat menjadi mudah dan cepat dalam bepergian. Tapi secara umum kendaraan yang dibutuhkan manusia hanyalah satu. Apabila seseorang memiliki kendaraan lebih dari satu, maka sisanya harus dikeluarkan zakat.
Salah satu bentuk harta yang harus dikeluarkan zakatnya adalah harta kekayaan dagang. Namun bagaimana dengan orang yang menjual sesuatu misalnya rumah atau kendaraan tapi bukan dengan niat berdagang, apakah masih termasuk kategori berdagang dan apakah harus dikeluarkan zakatnya ? menurut para ulama, bahwa salah satu syarat orang yang berdagang adalah mereka menjual sesuatu dengan niat berdagang.
Adapun orang yang menjual sesuatu tanpa niat berdagang dan ia hanya menjual barang pada waktu itu saja, hal ini tidak dapat dikategorikan berdagang, dan menurut para ulama hal tersebut tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Namun tidak dengan serta merta zakat terbebas dari dirinya, ia tetap harus membayar zakat dari harta yang telah ia dapatkan dan apa yang telah menjadi harta simpanannya apabila harta tersebut telah memenuhi syarat-syarat harta wajib zakat seperti nishab dan haul.
Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa penyaluran zakat telah jelas diterangkan oleh Allah dalam Al-Qur’an yaitu kepada delapan golongan. Adapun penyaluran zakat untuk guru mengaji, apabila guru mengaji tersebut termasuk salah satu dari delapan golongan yang disebutkan dalam Al-Qur’an, maka berhak untuk mendapatkan zakat. Misalnya guru mengaji tersebut adalah orang yang miskin, maka mereka berhak mendapatkan zakat dari pos fakir miskin.
Adapun dengan zakat untuk anak yatim, apabila anak yatim tersebut adalah orang yang kaya raya, maka mereka tidak berhak menerima zakat. Tapi apabila mereka anak-anak yatim yang miskin dan membutuhkan, maka mereka berhak menerima zakat yang diambil dari pos fakir miskin.
Zakat sebagaimana yang kita ketahui disalurkan kepada golongan-golongan yang telah jelas seperti yang diterangkan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Namun dalam perkembangannya, ada perluasan batasan penyaluran zakat yang dilakukan oleh para ulama dengan salah satu sebabnya adalah adanya suatu maslahat yang dimilikinya. Adapun zakat yang disalurkan untuk pembangunan masjid, hal tersebut tidak pernah dilakukan pada zaman Rosulullah. Namun ada sebagian ulama yang memasukkannya kedalam pos fisabilillah, tapi dengan syarat bahwa pembangunan masjid dilakukan didaerah yang tidak terdapat sama sekali masjid, sehingga diharapkan dengan adanya masjid akan menjadi syi’ar Islam.
Adapun pembangunan masjid didaerah yang sudah banyak terdapat masjid, maka hal tersebut tidak diperbolehkan, karena dana zakat harus mempunyai suatu nilai maslahat yang didapatkan oleh kaum muslimin (sebagaimana fungsi zakat). disamping itu, penyaluran zakat untuk pembangunan masjid ditempat yang sudah banyak terdapat masjid, disatu sisi dapat memadharatkan yang lain seperti fakir miskin, apalagi jika dana zakat terbatas. Kita tidak mungkin menyalurkan dana zakat untuk pembangunan masjid, disisi lain fakir miskin yang mempunyai kebutuhan mendesak tidak mendapatkan bagian, padahal salah satu fungsi zakat adalah mencukupkan dan membantu fakir miskin.
Zakat tidak wajib dikeluarkan dari tanah yang dimiliki seseorang, karena tanah bukan merupakan bentuk harta yang dapat berkembang. Namun tanah akan menjadi wajib untuk dikeluarkan zakatnya apabila tanah tersebut disewakan oleh pemiliknya atau tanah tersebut dikelola untuk sesuatu yang dapat menghasilkan keuntungan, seperti tanah yang digunakan untuk menanam buah-buahan atau sayur-sayuran.
Mengeluarkan zakat, dengan barang atau uang ?
Dalam mengeluarkan zakat, para ulama berbeda pendapat apakah yang keluarkan tersebut dalam bentuk barang atau boleh juga dengan uang ? jika dalam bentuk barang yang sesuai dengan bentuk sumber zakatnya, maka para ulama telah bersepakat atas wajibnya. Namun para ulama berbeda pendapat tentang mengeluarkan zakat dalam bentuk uang.
Ada dua pendapat tentang masalah ini, pendapat yang pertama melarang dan pendapat yang kedua memperbolehkan. Sebab adanya perbedaan pendapat ini adalah adanya perbedaan pandangan tentang hakikat zakat, sebagian mengatakan bahwa zakat itu adalah salah satu bentuk ibadah seperti halnya shalat, sehingga tidak bisa digantikan atau diubah dengan apapun. Sebagian lainnya mengatakan bahwa zakat disamping ibadah, juga merupakan kewajiban yang harus ditunaikan atas harta yang merupakan hak orang-orang yang berhak menerimanya, seperti fakir miskin dan sebagainya.
Dari kedua pendapat tersebut, masing-masing mempunyai dalil. Adapun dalil yang melarang mengeluarkan zakat dalam bentuk uang adalah seperti yang kami rangkum kedalam beberapa poin sebagai berikut :
Disini orang suruhan tersebut tidak boleh menyalahi suruhan majikannya karena faktor ketaatan walaupun ia menemukan sesuatu yang lebih bagus dan lebih manfaat. Begitupun halnya dalam masalah zakat, seorang hamba tidak boleh merubah apa yang menjadi ketetapan Allah dan Rosulnya meskipun hal itu dilihatnya lebih bermanfaat, karena hal itu bertentangan dengan nash dan keluar dari makna ibadah, karena zakat adalah salah satu bentuk ibadah sebagaimana halnya shalat.
Begitupun dengan pendapat yang menyatakan kebolehannya, maka kamipun merangkumnya kedalam beberapa poin berikut ini :
Menurut pendapat Syekh Yusuf Qardhawi, bahwa pendapat yang memperbolehkan membayar zakat dengan menggunakan uang adalah pendapat yang lebih sesuai untuk kondisi zaman sekarang, karena lebih memudahkan kaum muslimin dalam pembayaran zakat dan lebih mudah dalam perhitungannya.
Khusus bagi lembaga pengelola zakat, pembayaran zakat dari para muzakki dengan menggunakan uang akan lebih mempermudah urusan. Karena dengan mengambil zakat dari jenis barang akan lebih menyulitkan dan akan semakin bertambahnya biaya pengurusan untuk memindahkan barang dari tempat muzakki ke tempat lembaga, juga biaya untuk biaya pemeliharaan supaya barang tersebut tidak rusak. Demikian pula dibutuhkan tempat untuk menyimpan barang seperti gudang juga diperlukan biaya untuk makanan dan minuman apabila zakat yang dibayarkannya adalah zakat hewan ternak.
Begitupun dalam masalah penyaluran, dengan memberikan zakat dalam bentuk uang kepada para mustahik, hal ini akan lebih bermanfaat bagi mereka dan mereka dapat membelanjakannya sesuai dengan kebutuhan mereka. Jika kita menyalurkannya dalam bentuk barang, belum tentu barang yang disalurkan kepada mereka adalah barang yang mereka butuhkan. Apabila barang tersebut memang merupakan barang yang menjadi kebutuhan mereka, maka hal tersebut tidaklah masalah.
Namun jika barang tersebut bukan merupakan barang yang menjadi kebutuhan mereka, maka hal ini akan menyulitkan mereka, karena mereka harus menjual terlebih dahulu barang yang mereka dapatkan dari zakat, untuk kemudian ditukarkan dengan barang yang menjadi kebutuhan mereka. Misalnya sebuah lembaga pengelola zakat menyalurkan zakat dalam bentuk pakaian, tapi sebenarnya yang dibutuhkan para mustahik adalah makanan, tentu para mustahik tidak akan secara langsung mendapatkan manfaat dari zakat tersebut, karena mereka harus terlebih dahulu bersusah payah menjualnya, setelah laku baru mereka dapat membelanjakannya untuk sesuatu yang menjadi kebutuhan mereka seperti makanan.
Menyalurkan zakat ketempat lain (bukan ditempat penghasil zakat)
Berdasarkan hadits-hadits yang ada, pada hakekatnya zakat haruslah dibagikan ditempat dimana ia dikumpulkan, yaitu untuk memenuhi kebutuhan tetangga si muzakki dan untuk memberantas kemiskinan yang ada diwilayah tersebut. Tapi bukan berarti tidak boleh disalurkan ketempat yang bukan daerahnya. Menurut Syekh Yusuf Qardhawi dan ulama-ulama lainnya, mereka menyatakan bahwa boleh menyalurkan zakat ke tempat lain yang bukan tempat dikumpulkan zakat, dengan beberapa syarat yang dapat kami simpulkan sebagai berikut :Mempercepat pembayaran zakat
Bersegera menunaikan zakat adalah suatu amalan yang utama apabila harta yang dimiliki telah memenuhi syarat wajib zakat. Namun bagaimana dengan mempercepat pembayaran zakat dari yang seharusnya, apakah diperbolehkan menurut para ulama ? sebagian ulama memperbolehkan mempercepat pembayaran zakat dengan syarat bahwa harta itu adalah harta yang disyaratkan cukup satu tahun. Seperti zakat perdagangan, emas perak, dan lain sebagainya.
Para ulama memperbolehkan mendahulukan pengeluaran zakat sebelum datang masa satu tahun dengan ketentuan harta tersebut telah mencapai nishab, karena nishab adalah sebab yang menjadikan harta wajib ditunaikan zakatnya. Ketika nishab telah ada, maka zakat menjadi wajib. Pendapat ini di kemukakan oleh Imam Hasan, Said Bin Zubair, Zuhri, Auzai, Abu Hanifah, Syafi’I , Ahmad, Ishak dan Abu Ubaid (Al-Mughni, jilid 2 hal.630).
Adapun alasan para ulama yang memperbolehkan mempercepat pengeluaran zakat adalah sebuah hadits riwayat Abu Daud dan yang lain dari Ali : “bahwa Abbas bertanya kepada Rosulullah dalam mempercepat mengeluarkan sedekahnya sebelum datang waktu satu tahun, maka Nabi mengizinkannya terhadap hal tersebut.” Mereka juga beralasan dari segi analogi bahwa hal ini adalah mempercepat mengeluarkan harta karena ada sebab yang mewajibkan sebelum kewajiban itu sendiri datang. Hal ini tentu diperbolehkan, seperti mempercepat membayar hutang sebelum waktunya dan seperti kifarat sumpah sesudah sumpah dan sebelum melanggarnya, hal ini diperkenankan menurut Imam Malik.
Pendapat yang menyatakan bahwa tahun termasuk salah satu dari dua syarat zakat sehingga tidak boleh mendahuluinya seperti nishab, maka tidak bisa diterima, karena mendahulukan zakat sebelum memiliki nishab, berarti mendahulukan zakat sebelum datangnya sebab. Hal ini seperti mendahulukan kifarat sumpah sebelum sumpah, dan mendahulukan kifarat pembunuhan sebelum membunuh, dan disini berarti ia telah mendahulukan sebelum datangnya sebab, karena nishab itulah yang menjadikan sebab diwajibkannya zakat.
Mereka yang menyatakan bahwa zakat tidak boleh dipercepat sebelum datang waktunya sebagaimana halnya shalat, maka hal itu adalah berbeda, karena zakat adalah suatu kewajiban yang berhubungan dengan hak orang lain, sehingga mempercepatnya ketika syarat nishab telah terpenuhi maka hal tersebut diperkenankan sebagaimana mempercepat pembayaran hutang ketika kita memiliki hutang.
Adapun shalat adalah ibadah khusus yang tidak ada hubungannya dengan hak orang lain, sehingga kenapa diwajibkannya shalat pada waktu tersebut tidak dapat dimengerti maksudnya. Menurut Imam Syafi’I dan Imam Ahmad, apabila seseorang mempercepat zakat hartanya yang sudah mencapai nishab, maka cukuplah nishab tanpa tambahan apa-apa.
Batas mempercepat pengeluaran zakat
Mazhab Hanafi memperbolehkan bagi si pemilik harta untuk mempercepat pengeluaran zakat kapan saja maunya tanpa ada batas tahun dengan syarat bahwa harta yang dimilikinya sudah mencapai nishab dan itupun bukan dari jenis zakat pertanian atau tanaman yang harus menunggu panen, karena bagaimana mereka akan mempercepat pengeluaran zakat pertanian atau tanaman jika tanaman yang akan dikeluarkan zakatnya belum berbuah atau belum panen, karena berbuah dan panen adalah sebab yang menjadikan wajib zakat, dan jika belum berbuah berarti belum ada syarat yang mewajibkannya. Tapi menurut para ulama walau bagaimanapun mengeluarkan zakat tepat pada waktunya adalah lebih baik dan utama, karena keluar dari perbedaan pendapat.
Mengakhirkan pengeluaran zakat
Pada dasarnya zakat wajib dilakukan dengan segera, karena suatu perintah menghendaki dilakukannya dengan segera. Disamping itu, zakat berhubungan dengan hak orang lain, yaitu orang-orang yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai mustahik zakat, dan zakat dituntut untuk dikeluarkan dengan segera karena untuk menutupi kebutuhan mereka, khususnya kebutuhan yang mendesak, dan jika tidak dilakukan dengan segera, maka maksud diwajibkannya zakat tidak akan tercapai dengan sempurna.
Juga apabila mengakhirkan pengeluaran zakat, sesuai dengan watak manusia, maka manusia akan selalu mengakhirkan pengeluaran zakat dan dikhawatirkan akan menjadi kebiasaan, yang pada akhirnya zakat menjadi hilang kewajibannya disebabkan hilangnya harta, atau orangnya meninggal dunia, sehingga tidak dapat mengeluarkannya, dan hal ini akan mengakibatkan kemadharatan bagi fakir miskin dan mustahik zakat lainnya.
Adapun mengakhirkan zakat disebabkan karena adanya suatu kebutuhan mendesak atau adanya suatu kemaslahatan, maka mengakhirkan zakat dari waktu wajibnya diperbolehkan. Misalnya mengakhirkan zakat karena adanya kebutuhan yang mendesak sehingga harus menggunakan harta zakat. Tetapi jika mengakhirkan zakat tanpa alasan atau sebab, maka hal tersebut tidak diperbolehkan, dan orang yang melakukannya berdosa.
Menyalurkan zakat secara langsung tanpa melalui pengelola zakat
Pada dasarnya menyalurkan zakat secara langsung tanpa melalui pengelola zakat adalah sah, karena tidak ada dalil yang melarangnya. Namun meskipun begitu, penyaluran zakat sangat dianjurkan melalui sebuah pengelola ataupun lembaga yang khusus menangani zakat, karena hal ini sudah dipraktekkan sejak zaman Rosulullah. Dahulu, dalam menangani zakat Rosulullah membentuk tim yang merupakan petugas zakat yang terdiri dari para sahabat untuk memungut zakat, dan hal ini diteruskan oleh generasi sahabat sesudahnya.
Untuk itulah mengapa dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa salah satu orang yang berhak menerima zakat adalah petugas zakat, karena memang zakat itu sendiri harus ada petugas yang mengelola, baik pemungutan maupun penyaluran, sebagaimana yang telah dipraktekkan semenjak zaman Rosulullah. Disamping itu, Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an : “Pungutlah zakat dari harta mereka...” ayat ini menegaskan bahwa zakat harus ada yang memungut dan yang memungut zakat adalah petugas zakat. Jadi, menyalurkan zakat kepada pengelola zakat adalah lebih utama dan lebih sesuai dengan sunnah, karena Rosulullah telah mencontohkan hal demikian.
Harta seseorang yang sudah mencapai nishab, tapi mempunyai hutang
Apabila seseorang mempunyai harta yang telah mencapai nishab, tapi ia mempunyai hutang kepada orang lain, maka ia harus terlebih dahulu menyisihkan uangnya untuk pembayaran hutang. Apabila setelah disisihkan ternyata masih mencapai nishab, maka wajib mengeluarkan zakat dihitung setelah disisihkannya uang pembayaran hutang. Namun apabila setelah disisihkan untuk pembayaran hutang ternyata tidak mencapai nishab, maka tidak wajib membayar zakat, karena dengan begitu menurut hukum agama, ia bukanlah orang mampu dan kaya, karena nishab diberlakukan dalam pembayaran zakat untuk mengukur apakah ia orang yang mampu atau tidak, sehingga kita bisa mengetahui apakah ia wajib mengeluarkan zakat atau tidak.
Piutang itu ada dua macam :
Namun menurut pendapat yang lain hendaklah dizakatkan, karena ia merupakan milik yang dapat dibelanjakan. Ini adalah pendapat Tsaur dan Abu Ubaid.
Ada juga yang berpendapat hendaklah dizakatkan apabila telah dipegang selama satu tahun. Ini adalah pendapat Umar Bin Abdul Aziz, Hasan, Laits, Auza’I, dan Malik.
Zakat untuk pendidikan dan kesehatan boleh dilakukan dengan syarat orang yang menerimanya adalah orang yang termasuk kedalam delapan golongan yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an, misalnya fakir miskin, karena zakat itu sendiri diwajibkan atas orang kaya dalam rangka membantu kebutuhan-kebutuhan fakir miskin khususnya kebutuhan pokok, sedangkan kebutuhan pokok itu sendiri bukan hanya kebutuhan perut yaitu makanan, tapi mereka juga mempunyai kebutuhan lainnya seperti kesehatan dan pendidikan.
Kesehatan merupakan kebutuhan pokok bagi manusia karena tanpa kesehatan manusia tidak dapat hidup dan menjalani aktifitas secara normal dan tidak dapat melaksanakan ibadah ritual secara baik. Pendidikan merupakan kebutuhan pokok, karena pendidikan merupakan faktor bagi kemajuan sebuah bangsa, tanpa pendidikan, sebuah bangsa akan menjadi bangsa yang hancur dan Allah melarang kita membenamkan diri dalam kehancuran.
Orang miskin yang mampu berusaha
Zakat boleh diberikan kepada orang miskin yang mampu berusaha, tapi zakat yang diberikan merupakan zakat yang produktif dan bukan konsumtif, artinya, dengan zakat yang diberikan, orang tersebut dapat mengembangkan ekonominya dengan membuat jenis usaha dari dana zakat tersebut.Orang yang meninggal, tapi mempunyai kewajiban zakat
Menurut para ulama, orang yang meninggal dunia tetapi ia masih mempunyai kewajiban berzakat, maka zakat harus dikeluarkan dari hartanya dan menurut sebagian ulama, zakat harus didahulukan dari membayar hutang, dari memenuhi wasiat dan dari pembagian warisan
Zakat tidak boleh disalurkan untuk anak, istri, ataupun orang tua walaupun dengan alasan bahwa anak, istri atau orang tua kita miskin dan tidak mampu, karena selama kita masih ada dan mampu, maka sudah menjadi kewajiban kita untuk memberi nafkah kepada mereka dan bukan membantu mereka dari zakat yang harus kita keluarkan.
Maskawin adalah sebuah sebutan untuk barang yang diberikan oleh sang pengantin lelaki kepada pengantin wanita sebagai tanda pernikahan. Maskawin banyak bentuknya, bisa dalam bentuk uang, emas, rumah, kendaraan, dan lain sebagainya. Dalam hubungannya dengan zakat, sebenarnya tidak ada ketentuan yang mengharuskan maskawin untuk dikeluarkan zakatnya. Tetapi maskawin itu sendiri berupa harta yang merupakan sumber zakat, seperti emas, uang, dan lain sebagainya.
Jadi, harta maskawin yang harus dikeluarkan zakatnya bukan karena semata-mata maskawinnya yang harus dizakati, tetapi karena maskawin tersebut merupakan sumber zakat yang harus dizakati, seperti emas dan uang. Harta maskawin tersebut harus dikeluarkan zakatnya oleh yang menerimanya, yaitu istri, dengan syarat dan ketentuan sebagaimana sumber zakat lainnya. Jika maskawin berupa emas, maka perhitungannya sama dengan zakat emas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar