Ustadz Galih Gumelar |
Ustadz Galih Gumelar – Dalam sebuah kisah, seorang lelaki dari bani Israil berpuasa selama 70 tahun. Setiap tahun ia hanya berbuka tujuh hari. Selama berpuasa, dia selalu bermohon kepada Allah agar diberi kemampuan melihat setan yang senantiasa menggoda manusia.
Meskipun doa itu dipanjatkan terus menerus, namun Allah tetap menangguhkannya. Karena merasa sudah terlalu lama permohonannya tidak dikabulkan, suatu ketika lelaki itu bergumam, ”seandainya aku dapat mengetahui berbagai kesalahan serta doa yang aku perbuat kepada Tuhanku, niscaya yang demikian itu lebih baik daripada perkara yang aku minta selama ini”.
Sesaat kemudian, atas perintah Allah, malaikat datang menemui lelaki itu dan berkata, ”sesungguhnya Allah telah mengutusku untuk menemui kamu. Dia (Allah) berkata bahwasannya pernyataan yang baru saja kamu ucapkan tadi lebih disenangi oleh-Nya daripada ibadah (puasa) yang telah lama kamu jalankan itu”. Si pembawa pesan itupun menghilang.
Tak lama setelah malaikat pergi, lelaki dari bani Israil tadi dianugerahi oleh Allah kemampuan melihat setan sehingga saat itu langsung dapat menyaksikan rombongan setan yang mengepung manusia di bumi. Itulah kisah yang bersumber dari Wahab bin Munabbih.
Setan memang tidak akan pernah berhenti mengepung dan menggoda manusia. Mereka datang dari berbagai penjuru; dari muka dan dari belakang, dari kanan dan dari kiri (QS. 7:17), dan itu akan berlangsung terus hingga kiamat tiba (QS. 17:62). Dalam memperkuat godaan mereka untuk menyesatkan manusia, para setan dibantu teman-temannya (orang-orang kafir dan fasik) tanpa kenal lelah (QS. 7:202).
Dalam konteks kekinian, wujud setan semakin beragam. Kekuatan godaannya pun makin dahsyat. Di era globalisasi informasi, setan bisa berupa paket-paket informasi tertentu, atau kemasan acara tertentu. Di tengah semaraknya produk-produk film, terutama film impor, setan bisa menyusup sebagai pemeran atau pemain. Setan juga dapat menyelinap dalam botol minuman-minuman tertentu. Dalam tataran organisatoris, kumpulan setan bisa bergabung dengan OTB (organisasi tanpa bentuk). Dan masih sangat banyak lagi yang lain, yang seluruhnya bisa disimpulkan, setan adalah tempatnya kesalahan, atau sebaliknya, kesalahan/kebatilan adalah tempatnya setan.
Memohon kepada Allah agar manusia diberi kemampuan ”melihat berbagai wujud setan” terasa kian relevan di era ketika batas-batas antara ”setan” dengan ”yang bukan setan” kian pudar. Padahal batas tegas itu sangat diperlukan agar fokus sasaran perlawanan manusia tidak meleset. Sangat ironis bila yang dilawan justru hal-hal yang seharusnya didukung. Sebaliknya, tak kalah ironisnya jika yang didukung adalah perkara-perkara yang semestinya diprotes.
Yang menarik dari kisah di awal adalah, permohonan untuk dapat ”melihat setan” dikabulkan setelah sang pemohon tergerak hatinya untuk mengetahui terlebih dahulu berbagai kesalahan atau dosa yang pernah diperbuatnya. Mampu melihat atau mengetahui kesalahan/dosa berarti mampu ”melihat setan”. Maka alangkah indahnya bila setiap orang mampu ”melihat setan”.
”Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya” (QS. 7:201). Bila dengan bertakwa dan mengingat Allah, manusia bisa ”melihat setan”, maka hanya dengan bertakwa dan mengingat Allah itu pula satu-satunya cara untuk melawan segala macam bentuk setan yang dilihat, termasuk setan yang belum sempat dilihat. Maha Benar Allah dengan segala firman-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar