Galih Gumelar .com - Pernikahan adalah sebagai salah satu bentuk ibadah kita kepada Allah. Keutamaan sebuah pernikahan sebagaimana yang disabdakan Rasulullah dapat menyelamatkan separuh dari agama seseorang. Tetapi, masih banyak memang, ibadah dalam konteks sebuah pernikahan hanya pada saat ritual akad nikah saja, sedangkan ketika dalam menjalani kehidupan rumah tangga, nilai-nilai ibadahnya sering terlupakan.
Hal ini memang sangat wajar, karena salah satu hal yang paling disenangi dari pada berbagai godaan maksiat yang dilakukan oleh manusia adalah menceraikan / memisahkan suami dari istrinya. Jadi dalam kehidupan rumah tangga, seorang muslim sangat harus senantiasa berdzikir agar syaitan tidak menguasai mereka dan terjadilah perpecahan dalam kehidupan rumah tangga. Hal ini sebagaimana dinyatakan melalui ayat ;
"Syaitan telah menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan syaitan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan syaitan itulah golongan yang merugi". (58:19)
Setidaknya melalui kedua dasar diatas, bisa kita simpulkan bahwa, mempertahankan pernikahan adalah satu hal yang perlu dilakukan dengan berbagai upaya, terutama dalam konteks beribadah kepada Allah.
Tetapi, sebagaimana tujuan utama dari pernikahan adalah ibadah, maka ketika nilai ibadah itu sudah dirasakan tidak akan terjadi, maka ulama berpendapat melalui hal ini seseorang (baik suami maupun istri) boleh membatalkan (bercerai) dari pernikahan tersebut.
Beberapa hal yang perlu dicermati dalam konteks ini adalah ;
1.Pembatalan pernikahan karena salah satu pasangan berbeda aqidah.
Untuk lebih jauh memahami hal ini silakan lihat inspirasi " Bolehkah, menikah berbeda agama...?"
2.Ketika salah seorang pasangan berpindah agama (murtad). Hampir sama dengan hal diatas, tetapi lebih disandarkan kepada ayat "...jangan berpegang pada tali perkawinan dengan orang yang kafir" dan hadits " Orang yang bertemu dan berpisah karena Allah".
3. Karena Kedzholiman dari salah satu pasangan.
“Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian kecil dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata” [An-Nisa : 19]
Hal ini termasuk kewajiban suami dan istri yang di atur sesuai syariat yang tidak akan kita bahas lebih jauh dalam uraian ini.
4. Karena takut kufur (mengurangi nilai ibadah) hal ini sebagaimana ;
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya” [Al-Baqarah : 229]
“Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata ; “Wahai Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit dalam agama dan akhlaknya. Aku hanya takut kufur”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Maukah kamu mengembalikan kepadanya kebunnya?”. Ia menjawab, “Ya”, maka ia mengembalikan kepadanya dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya, dan Tsabit pun menceraikannya” [HR Al-Bukhari]
Pada prinsipnya, pernikahan ini haruslah tetap menjadi satu nilai ibadah, dan bukan di dasari pada cinta semata-mata, atau tujuan tujuan tertentu, seperti harta, popularitas, jabatan, dll.
Nah, melalui beberapa dasar-dasar ini, ada beberapa hal yang bisa kita cermati ;
1. Jika masih memungkinkan, mempertahankan pernikahan itu lebih baik. Karena memberi maaf memang jauh lebih sulit, sehingga ada ungkapan yang mengatakan "Mengapa engkau tidak mau memberikan maaf ?, apakah engkau tidak ingin dosamu dimaafkan oleh Allah ?".
Pemberian maaf kepada salah satu pihak dalam konteks ini bisa bermakna : Memaklumi kesalahan dan tidak ada kecenderungan untuk membalas dendam, walaupun dalam konteks hubungan, bisa dilanjutkan maupun tidak tergantung dari pertimbangan ;
a. Apakah dengan melanjutkan hubungan, manfaat dan mudhorot (dilihat dari berbagai aspek) dalam konteks ibadah akan semakin membaik, atau semakin memburuk. Jika semakin membaik, sebaiknya dilanjutkan (anggap saja ini adalah satu ujian berat),tetapi jika dikawatirkan semakin memburuk maka perceraian adalah jalan yang terbaik.
2. Diperbolehkannya pihak wanita mengajukan gugatan cerai berdasarkan ayat dan hadits yang disampaikan di atas. Dengan catatan, bahwa perceraian yang dimaksud agar salah satu atau masing-masing dapat melaksanakan ibadah dengan lebih baik.
Sedangkan di tinjau dari kedudukan antara suami dan orang tua,
1. Ketika seorang wanita menikah, maka ia harus taat pada suami, sedangkan, orang tua wanita itu, harus pula diperlakukan oleh sang suami sama seperti orang tua sendiri, tidak ada pemisahan antara orang tua dan mertua. Demikian pula sebaliknya, bagi orang tua seorang suami / istri dari anaknya bukanlah jadi menantu, tetapi harus diperlakukan pula sebagaimana anak kandung mereka.
2. Perintah untuk berbuat baik pada orang tua adalah wajib, dan durhaka kepada orang tua adalah dosa terbesar setelah musyrik kepada Allah. Tetapi, hal yang perlu dicermati dalam konteks kepada orang tua disini adalah selama apa yang diperintahkan oleh orang tua itu tidak menyimpang dari aturan Allah. Jika ia memerintahkan sesuatu yang menyimpang dari aturan Allah dan Rasul-Nya, maka kita tidak wajib mengikutinya. Tetapi berbuat baik kepada mereka, walaupun, (katakanlah orang tua tidak seagama), harus tetap di lakukan sebatas tidak menyimpang dari aturan Allah.
Lalu pertanyaannya, mana yang harus di pilih oleh seorang istri, taat kepada orang tua, atau taat kepada suami...?
Bagi wanita, taat pada suami selama tidak bertentangan dengan syariat adalah hal yang utama, dari pada taat kepada orang tua kandungnya, karena tanggung jawab kepemimpinan sudah berada di tangan suami. Tetapi, suami harus taat kepada orang tua (baik orang tua kandung maupun mertua), sebagaimana tinjauan di atas.
Ketika suami berbuat zholim, maka istri tidak wajib taat kepada suami, dan apabila kezholiman itu pada akhirnya akan berdampak pada penurunan nilai ibadah, maka perceraian adalah jalan yang terbaik. Bahkan ada sebagian ulama yang mewajibkan perceraian seseorang ketika dalam konteks menjalankan syariat sudah tidak memungkinkan (misalnya suami melarang istrinya menutup aurat (jilbab), melarang shalat, dll).
Memang selama ini timbul anggapan bahwa hanya pihak laki-laki saja yang dapat menceraikan istrinya..Melalui tulisan sederhana ini, mudah-mudahan kita bisa lebih memahami, bahwa Islam sangat menghargai dan melindungi wanita...Wallahu'alam.
Sumber : Risalah dan Litelatur Lainnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar