Galih Gumelar .com - Jika kita perhatikan, 'hidup bersama' atau 'kumpul kebo' pada prakteknya 'hampir tidak ada bedanya' dengan pasangan suami-istri yang sudah menikah. Hubungan secara manusia dalam konteks 'hidup bersama tanpa sebuah pernikahan' tentunya didasari oleh 'satu alasan atau lebih' yang yang mengikat hubungan mereka. Tetapi, ketika satu alasan tersebut telah hilang, maka hal ini sangat berpengaruh terhadap ikatan dalam hubungan mereka.
Hubungan semacam ini, sama sekali tidak memerlukan peran agama di dalamnya. Salah satu alasannya, karena komitmen yang terjadi berdasarkan aturan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Tetapi persoalannya adalah, kedua belah pihak yang membuat aturan tersebut pasti memiliki 'self interested' untuk kepentingan dirinya. Ketika kepentingan diri seseorang itu terpenuhi, maka komitmen tersebut akan berjalan dengan baik, tetapi, jika tidak maka, rusaknya hubungan di antara mereka pasti tidak terhindarkan lagi. Hal ini sesungguhnya merupakan satu hal yang kemudian dapat menjadi rumit, bahkan bisa jadi menjadi sangat rumit atau sebaliknya. Intinya, pada hubungan semacam ini, sama sekali tidak diperlukan peranan agama di dalamnya, karena aturan, cara, jalan dan tujuan, bukan dilandaskan karena agama.
Dalam islam, manusia diberikan tujuan atas kehidupannya di dunia ini, diberikan cara terbaik menjalani kehidupan ini berdasarkan aturan-aturan yang sangat jelas. Sehingga aturan dan cara tersebut akan membentuk islam sebagai satu jalan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh Allah.
Salah satu tujuan pokok manusia di ciptakan oleh Allah adalah untuk beribadah, dan Allah memberikan petunjuk-Nya agar manusia bisa beribadah sepanjang waktu dalam kehidupannya. Dalam islam, ibadah tidak hanya terkait dengan hal yang bersifat ritual (shalat, puasa, dll) semata-mata, tetapi semua aspek dalam islam memiliki nilai ibadah.
Dalam sebuah ilustrasi sederhana, jika kita makan, maka ia bisa menjadi satu nilai ibadah atau tidak tergantung dari aturan yang ia gunakan. Jika ia memulainya dengan 'Bismillah' Insya Allah, pada saat ia makan, itu menjadi nilai ibadah, dan ketika dirinya tidak mengucapkan 'bismillah' maka ia akan sama mendapatkan makanan, tetapi ia tidak mendapatkan nilai pahala dari apa yang ia makan. Semudah itu Allah memberikan petunjuk kepada manusia agar mereka senantiasa mendapatkan pahala dari setiap apa yang dilakukan.
Hal ini tidak berbeda dengan hubungan antara pria dan wanita, 'hidup bersama' dan Menikah, dalam prakteknya 'hampir tidak jauh berbeda', tetapi pada hakikatnya, kedua hal tersebut sesungguhnya sangat jauh berbeda. Salah satu perbedaan yang sangat signifikan adalah dalam 'melegalisasi' (meng-halal-kan) hubungan pria dan wanita adalah dengan aturan yang ditetapkan oleh Allah, bukan aturan yang ditetapkan oleh manusia. Jika manusia mengikuti aturan Allah, maka ketika ia melakukan hal tersebut (seperti ilustrasi makan) akan bernilai ibadah, dan ketika ia tidak menggunakan aturan Allah dalam menjalani sesuatu, maka sudah dapat dipastikan ia tidak bernilai ibadah.
Kesadaran semacam ini (bahwa nikah adalah ibadah), masih sangat kurang disadari sepenuhnya oleh pasangan yang akan menikah. Walaupun keduanya beragama islam. Aturan dalam pernikahan seringkali hanya dilaksanakan sebatas pada ritual akad nikah saja, lalu setelahnya, mereka menjalani kehidupan rumah tangga mereka tidak dengan aturan yang Allah berikan kepada mereka. Jika demikian, pernikahan mereka sudah dapat dipastikan akan sangat jauh dari sakinah, mawaddah dan warahmah.
Dalam tulisan "Meraih berkah dalam kehidupan rumah tangga" setidaknya kita bisa mengetahui bagaimana Islam mengatur hubungan dalam sebuah rumah tanggan. Tetapi, sebagai catatan, dalam artikel tersebut, pasangan suami istri harus mengikuti aturan dari tuhan yang sama yaitu Allah, yang artinya, pengakuan terhadap tuhan dari keduanya adalah Allah (satu Tuhan). Dan tulisan tersebut pasti akan sangat membingungkan, jika dijalani oleh mereka yang mengambil juga aturan selain aturan Allah (artinya ada dua tuhan). Maka pertanyaan mendasarnya adalah, tuhan manakah yang akan di imani...?, dan apakah mungkin seseorang itu bisa mengakui dua tuhan (karena berkaitan dengan aturan yang akan di jalankan...?).
Tentunya, jawaban dari hal ini sangat bergantung dari seberapa kuat akidah seseorang, dan kita tidak perlu membahasnya di sini.
Hanya agama yang memerintahkan manusia untuk beribadah dan dalam konteks ibadah, yang kita lakukan harus jelas aturan dan caranya. Dalam konteks menikah berbeda agama, memang tersebar di sekitar kita dua pendapat, ada yang membolehkan (Walaupun pendapat ini sangat lemah), dan ada yang mengharamkan.
Marilah kita lihat pendapat yang pertama, pendapat ini berasal dari pemahaman mereka pada ayat ;
"Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu,..."(5:5)
Pendapat yang membolehkan menikahi wanita yang berbeda agama di bantah oleh Mayoritas ulama. Mayoritas ulama berdasarkan atsar Rasulullah dan para sahabat mengatakan, yang di maksud dengan wanita Ahli kitab, adalah mereka yang di nikahi sebelum datangnya Rasulullah dengan membawa risalah Islam, dan setelah datangnya Rasulullah dengan risalah Islam, maka mereka tidak lagi diperbolehkan, kecuali, wanita tersebut masuk ke dalam Islam terlebih dahulu. Hal ini sebagaimana ayat ;
"Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran". (2 :221)
Melalui uraian singkat diatas, kebanyakan mayoritas ulama dan para sahabat Rasulullah, mengikuti pendapat yang kedua, karena pendapat yang pertama yang membolehkan sangat lemah kekuatan dalilnya, dan tidak pernah di contohkan oleh Rasulullah dan para sahabat.
Seperti pada ayat ;
"Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana". (60:10)
Setelah mendengar ayat ini, 'Umar bin Khatab langsung menceraikan istrinya yang tidak mau masuk Islam.
"Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir.."
Karena pada prinsipnya (sesuai dengan akidah mereka), ulama berpendapat melalui sebuah ungkapan, "Bagaimana kita bisa mencintai sesuatu yang tidak di sukai oleh Allah...?". Atau dengan kata lain, "bagaimanakah sebuah rumah tangga akan di rahmati Allah, jika salah satu dari mereka tidak menganggap Allah sebagai tuhan (musyrik)..?". Mengenai bagaimana sikap Allah terhadap manusia yang musyrik dan kafir, silakan anda rujuk ke dalam Al Quran, disana cukup jelas Allah menyatakan sikap-Nya.
Sedangkan ada yang bertanya, dengan cara apa dan dimana menikah berbeda agama bisa dilakukan..? hal ini sangat bergantung dari keimanan seseorang sebagai seorang muslim dan komitmennya sebagai hamba Allah. Aturan tuhan yang manakah yang akan di ambil, itulah yang menunjukkan keyakinan seseorang terhadap tuhannya. Jika ia meyakini tiada tuhan selain Allah, maka hanya dengan cara Islam dan dengan pasangan yang menerima agama islam anda akan menikah, jika tidak, maka ia menikah dengan cara yang bukan dari agama islam, yang sekaligus berarti pernikahan dirinya tidak menjadi nilai ibadah.
Wallahu'alam.
Sumber : Risalah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar