Dakwah, Pengobatan, Tausiyah

  • Breaking News

    Memahami Rahasia Haji

    Galih Gumelar .com - Dengan perkenan Tuhan yang Mahasuci, kami akan memaparkan kajian singkat tentang rahasia-rahasia ibadah haji. Meskipun topik kajian ini adalah ‘paparan tentang rahasia-rahasia haji’. Namun intisari pembahasan ini sebenarnya mengacu pada “analisis tentang rahasia-rahasia ibadah (secara umum).” Sebab, semua ibadah memiliki rahasia, baik rahasia yang bersifat umum maupun khusus. Oleh karena itu, manusia harus memahami kedua jenis rahasia ibadah ini (yang umum maupun khusus), sehingga ia dapat memahami rahasia selain ibadah haji pula.
    Keagungan haji banyak disebutkan dalam doa-doa bulan suci Ramadhan. Ini menandakan bahwa Allah SWT ingin menyempurnakan jamuan di bulan Ramadhan bagi tamu-tamu-Nya, dalam beberapa bulan (setelah itu).
    Jamuan Allah
    Pembukaan jamuan Allah bagi tetamu-Nya di mulai pada bulan suci Ramadhan, sementara penutupnya adalah bulan Dzulhijjah, yang merupakan akhir dari bulan-bulan suci dan bulan haji. Benar, haji adalah jamuan Allah dan orang-orang yang berhaji adalah para tamu undangan al-Rahman. Kata jamuan yang berhubungan dengan ibadah puasa dan haji diambil dari riwayat-riwayat Islam (hadis). Dalam Islam, tekadang digunakan kata ibadah adakalanya digunakan kata jamuan (untuk menggantikannya). Ibadah sering dipaparkan dalam kajian tentang fikih (bentuk-bentuk lahiriahnya), sementara jamuan sering dianalisis dalam pembahasan tentang rahasia-rahasia ibadah.
    Salah satu doa paling agung di bulan suci Ramadhan adalah permohonan (agar seseorang dapat) menunaikan ibadah haji, Doa ini biasanya dibaca berulang-ulang di bulan suci Ramadhan, dalam doa siang dan malam bulan suci Ramadhan, misalnya, terdapat kalimat, “Dan anugerahkanlah kepadaku (kesempatan untuk) menunaikan ibadah haji di rumah suci-Mu, di tahun ini dan di setiap tahun.”
    Doa tersebut merupakan doa teragung di bulan suci Ramadhan, dimana, dalam bulan ini, orang yang berpuasa menjadi tamu Allah. Jamuan itu sendiri memiliki dua tahapan. Pertama, sang penjamu berkata kepada tamu-tamu-Nya: Mintalah sesuatu! Dan, Kedua, sang penjamu memberikan apa yang diinginkan tetamu-Nya.
    Di bulan suci Ramadhan, Sang penjamu -Allah SWT- memberikan perintah kepada hamba-hamba-Nya yang berpuasa : mohonlah kepada-Ku kesempatan untuk menunaikan ibadah haji. Benar, upacara dan manasik haji merupakan jamuan dari Allah, namun jamuan itu bukan lantaran adanya permintaan, itu merupakan pemberian (dari Allah). Dalam hal haji, Allah tidak berfirman : Mintalah dari-Ku, namun, Dia menyatakan : Allah (senantiasa) mengabulkan permohonan. Sebab, permohonan dan pemberian saling berkaitan. Maksudnya, setiap pemberian (Sang Tuan) akan selalu dibarengi dengan permohonan (Sang Hamba). (dalam doa kita sering membaca), “Wahai Tuhan yang pemberian-Nya tidak menambah, kecuali kedermawanan dan kemuliaan-Nya.”
    Setiap kali manusia mengenal Allah, ia akan menjadi lebih “haus” (akan Allah). Mulanya, ia tak tahu apa yang (harus) ia minta dari Allah, sebab, ia tidak tahu kenikmatan-kenikmatan apa yang tersaji dalam jamuan Allah. Namun, ketika ia mengalami perubahan spiritual dan mulai melihat sesuatu dibalik tirai, muncullah permohonannya. Setiap tahap pemberian dan anugerah akan menghidupkan tingkat keinginan dan kemauan dalam diri manusia. Melalui permintaan dan permohonan, ia akan mengharapkan tahapan yang lebih baru dari Allah SWT.
    Dalam beberapa keadaan, sifat “tamak” justru sangat baik. Yakni tamak akan pengetahuan dan ilmu keagamaan. Tamak akan hal-hal yang bersifat materi adalah sifat yang buruk, sementara merasa puas terhadap kehidupan materi adalah sifat yang buruk, sementara merasa puas terhadap kehidupan materi adalah sifat yang bijak, Ya, merasa puas terhadap ilmu pengetahuan merupakan sifat buruk, sama halnya seperti tamak terhadap kekayaan duniawi. Sungguh memalukan bila manusia merasa puas dalam hal pengetahuan. Seharusnya, ia mengharapkan yang lebih banyak lagi dari yang diperolehnya itu. Sebab, Allah SWT memberikan dorongan dan semangat kepada hamba-hamba-Nya untuk memohon: Mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap. (As-sajadah: 16)
    Setiap kali rasa takut, harapan, doa, dan permohonan bertambah, maka keikhlasan dan kedekatan akan lebih meninggi lagi. Benar, setiap kali Allah memberikan kasih sayang kepada hamba yang menempuh perjalanan spiritual, maka dalam dirinya akan muncul permintaan (kebutuhan). Dalam menanggapi permintaan ini, Allah akan memberikan jawaban baru kepadanya. Jawaban baru ini merupakan “tambahan pemberian”.
    Doa yang selalu kita baca dibulan suci ramadhan, “Wahai Tuhan yang pemberian-Nya tidak menambah, kecuali kedermawanan dan kemuliaan,”menjelaskan pengertian diatas. Adakalanya dalam berdoa kita mengucapkan,“Ya Allah, apapun yang Engkau berikan, kekayaan-Mu tidak akan berkurang.”Doa ini sangat jelas pengertiannya. Terkadang pula kita berseru, “Setiap kali Engaku memberi, kekayaan-Mu bertambah banyak”.
    Benar, setiap kali Allah memberi, maka sifat lapang dada, keinginan, dan permintaan hamba akan bertambah. Ketika permintaan bertambah, maka pemberian yang diperolehnya akan lebih banyak pula. Dan ketika pemberian lebih banyak lagi, maka permintaan akan lebih bermunculan. Dihadapan permintaan yang lebih baik dan lebih banyak ini, seorang hamba akan mendapatkan pemberian tambahan yang lebih banyak lagi. Atas dasar ini, dengan memberi, Kekayaan Allah tidak akan berkurang, bahkan malah akan bertambah. Sebab kekayaan Allah terjaga dengan kehendak-Nya yang benar, dan kehendak Allah tidak terbatas.
    Oleh karena itu, dalam tahap jamuan di bulan suci Ramadhan, Allah memerintahkan kita agar meminta dan memohon kesempatan untuk mengunjungi dua tempat suci (Kabah al-Musyarrafah dan makam Rasulullah SAW) serta tempat-tempat suci lainnya. Dalam doa bulan suci Ramadhan, disebutkan permohonan untuk dapat mengunjungi rumah suci Allah (Kabah), makam suci Rasulullah SAW, dan makam-makam suci para imam. Dalam doa Abu Hamzah al-Tsimali, misalnya, disebutkan, “Wahai Tuhanku, janganlah Engkau menjauhkanku dari (kesempatan) berziarah ke tempat-tempat suci!”
    Dalam jamuan biasa, tidak mungkin tuan rumah bertanya kepada tamunya,“Apa yang anda inginkan dari saya?” Sebab, apapun yang disuguhkan oleh tuan rumah, para tamu pasti menerimanya. Ya, tamu akan menerima hidangan jamuan dari tuan rumah. Akan tetapi, disini, Tuan rumah berkata kepada tamu-Nya, “Apa yang anda inginkan dari saya? Apapun yang Anda inginkan, Saya akan memenuhinya. Mintalah kepada Saya untuk berziarah ke rumah Saya. Mintalah kesempatan untuk berziarah ke (makam) Rasul Saya, mohonlah kepada Saya (kesempatan) untk berziarah ke tempat-tempat suci.”
    Itulah jamuan di bulan Suci Ramadhan. Dan salah satu diantara hidangannya adalah kesempatan untuk menunaikan ibadah haji.
    Hakikat Haji
    Apabila seseorang mengetahui bahwa hakikat shalat adalah malaikat, maka ketika mendirikan shalat, ia akan memasuki shalat dengan niat yang kuat dan lebih baik. Demikian pula, apabila seseorang mengetahui bahwa hakikat dan batin haji adalah malaikat, dan ia ingin terbang bersama malaikat, maka ia akan melaksanakan haji dengan ikhlas dan kesadaran yang tinggi. Sebab, semua ini berasal dari sumber yang gaib, dan di dunia gaib tidak ada sesuatu yang lain selain malaikat.
    Dalam istilah agama, keberadaan metafisik yang terjaga dari kekurangan, cela, maksiat, lupa dan pelanggaran disebut dengan malaikat. Malaikat adalah makhluk suci yang tidak melakukan dosa dan tidak mati. Tak ada kekurangan dan cela pada dirinya. Seperti inilah batin shalat dan haji. Bila seseorang menunaikan shalat dan haji yang sejati, maka ia akan bercengkrama dan berjalan-jalan bersama para malaikat. Ia akan hidup bersama malaikat dan malaikat pun akan mengakrabinya.
    Dalam menafsirkan ayat: Maka segeralah kembali (menaati) Allah (Al-Dzariyat : 50), beberapa riwayat menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perjalanan (kembali) menuju Allah dalam ayat ini adalah ibadah haji. Dalam pada itu, ke mana pun manusia menghadap, maka ia akan menemukan “wajah” Allah.Maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah (Al-Baqarah : 115). Ya, manusia mampu melihat “wajah” Allah, ke mana pun ia menghadap.
    Adakalanya, manusia sampai pada suatu tempat: …..dan ia telah diliputi oleh dosanya (Al-Baqarah : 81), maksudnya, ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah setan. Atas dasar ini, berarti, manusia telah menciptakan lingkungan dan batasan bagi dirinya sendiri. Apabila ia melakukan dosa, maka di sekitarnya akan dipenuhi dengan setan, ular dan kalajengking. Ke arah manapun ia menghadap, disitulah ia melihat setan, ular dan kalajengking. Sebab, kesalahan dan dosa telah meliputi dirinya dan pintu tobat telah tertutup di hadapannya.
    Terkadang, dosa (masih) terdapat di luar pintu hati manusia. Ia memahami bahwa ia tengah melakukan keburukan, sementara (masih) ada kemungkinan bertobat dalam dirinya. Suatu saat lain, pendosa tak menemukan jalan dari dalam ke luar. Artinya, ia menciptakan kondisi: Yaitu api yang disediakan Allah yang dinyalakan, yang membakar sampai ke hati (Al-Humazah : 6-7). Dalam kondisi seperti ini, ia tidak melihat bahwa dirinya melakukan keburukan. Bahkan ia melihat keburukan sebagai kebaikan. Al-Quran menyebutkan: Dan mereka menyangka bahwa mereka berbuat kebaikan.(Al-Kahfi : 104).
    Oleh karena itu, setiap perbuatan dosa dan maksiat yang dilakukannya, ia menganggapnya sebagai perbuatan baik. Lantaran ia menyangka bahwa itu perbuatan baik, maka ia tidak akan melakukan tobat. Sebenarnya ia bisa bertobat. Namun, ia tidak melihat bahwa perbuatannya itu buruk sehingga harus bertobat karenanya. Begitulah, orang seperti ini memenuhi bagian dalam dan luar rumahnya dengan setan, ular dan kalajengking. Orang yang menanami kebun rumahnya dengan ilalang, ke mana pun ia pergi akan menjumpai ilalang. Bahkan kamarnya pun telah dipenuhi ilalang.
    Adakalanya, kondisinya tidak seperti itu. Ia tidak menanam rerumputan di kebunnya, malah ia membersihkan dan “menyucikan”-nya. Ia benar-benar menjaga agar rumput tidak memiliki kesempatan untuk tumbuh. Disinilah: Maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Benar, ke arah mana pun ia menghadap, di situlah ia akan melihat tanda-tanda kebesaran Allah. Tindakan yang dilakukannya, selain menguntungkan dirinya sendiri, juga mendatangkan keuntungan bagi orang lain.
    Dalam keadaan seperti itu, manusia ini berjalan dengan membawa cahaya yang menerangi jalannya sendiri dan jalan orang lain. Kami jadikan baginya cahaya yang ia gunakan berjalan di tengah manusia. Dalam tahap ini, manusia selalu berada pada kondisi melangkah menuju Allah. Dengan kegigihan dan upaya keras, ia akan berusaha untuk tidak terpengaruh oleh kejahatan. Inilah arti kembali kepada Allah.
    Adapun, bila seseorang memenuhi dimensi internal dan eksternal dirinya dengan “rumput”, maka itu berarti ia sengaja menutup jalan dirinya. Maksudnya, ia membelenggu kaki, tangan, mulut, telinga dan matanya. Lalu mereka menutupkan tangannya ke mulutnya (karena kebencian).(Ibrahim : 9).
    Di masa silam, sekelompok masyarakat, ketika mendengar ucapan para nabi, menutupi kepala mereka dengan pakaian dan menutupi telinga mereka dengan jemari agar suara nabi tidak terdengar oleh telinga mereka. Ingatlah, di waktu mereka menyelimuti dirinya dengan kain…(Hud : 5), Mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya (Al-Baqarah : 19). Mereka beranggapan, ucapan para nabi adalah sihir dan dongeng belaka. Mereka adalah orang-orang yang: dan ia telah diliputi oleh dosanya.
    Di antara manifestasi paling nyata dalam perjalanan menuju Allah adalah pelaksanaan ibadah haji. Artinya, yang menunaikan ibadah haji adalah melakukan perjalanan menuju Allah.
    Haji, Kembali kepada Allah
    Meskipun manusia dapat beribadah dan mengunjungi Allah di sembarang tempat dan menjadi tamu al-Rahman (Tuhan yang Mahakasih), namun Zat Allah yang Mahasuci telah menyiapkan dan menentukan beberapa tempat dan waktu (tertentu) untuk menyambut dan menjamu tamu-Nya. Ayat : Maka segeralah kembali (menaati) Allah, maksudnya adalah perjalanan haji. Yakni, meninggalkan selain Allah dan kembali menuju Allah. Sementara, Allah ada di semua tempat. Benar, pengertian perjalanan menuju Allah bukanlah perjalanan dari sisi ruang atau waktu. Sebab, Allah ada disetiap zaman, setiap tanah, dan disemua tempat : Dan Dia-lah Tuhan (yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di bumi (al-Zukhruf : 84)
    Ya, haji adalah perjalanan khusus, sehingga kembali kepada Allah (harus) ditafsirkan sebagai Ibadah haji. Disini, kembali kepada Allah maksudnya adalah bahwa manusia harus meninggalkan selain Allah dan mencari-Nya. Jadi, salah satu rahasia haji adalah meninggalkan selain Allah dan mencari-Nya. Apabila sesorang menunaikan haji (tetapi) dengan tujuan berdagang, mencari popularitas, atau niat dan tujuan lain (selain ridha Allah), maka ini adalah perjalanan meninggalkan Allah, bukan kembali kepada Allah, dengan demikian, disitu terdapat dua jenis jihad, yaitu Jihad mencari selain Allah danJihad mencari keridhaan Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran :
    Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami (Al-Ankabut:69)
    Akan tetapi, sekelompok manusia melakukan jihad untuk mencari keridhaan selain Allah, bukan keridhaan Allah. Orang-orang yang berbuat untuk diri sendiri, mempertahankan kedudukan, mencari popularitas dan sebagainya, jihad mereka adalah untuk selain Allah. Secara otomatis, mereka tersesat dari jalan (Allah), karena : Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. (Al-Ankabut : 69) adapun : orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan selain Allah), pada akhirnya akan : maka mereka tersesat dari jalan Allah.
    Begitu juga dengan kembali. Adakalanya kembali kepada Allah dan terkadangkembali kepada selain Allah. Dalam Al-Quran, haji diartikan sebagai kembali kepada Allah. Maksudnya, perjalanan orang yang menunaikan ibadah haji atau umrah adalah menuju kepada Allah. Sementara, perjalanan menuju Allah memiliki arti bergantung kepada-Nya dan tidak bergantung kepada selain-Nya.
    Apabila seseorang menyandarkan diri pada perbekalan dan perlengkapan, usaha dan pekerjaan, serta (bergantung) pada teman seperjalanan, maka ia kembali kepada teman seperjalanannya itu, bukan kembali kepada Allah. Ia melakukan perjalanan menuju hidangannya sendiri, bukan hidangan dan jamuan Allah SWT.
    Jadi, salah satu rahasia haji adalah memutuskan kebergantungan kepada selain Allah dan menjalin hubungan dengan-Nya. Ini dimulai dari persiapan penunaian ibadah haji. Siapa saja yang menyiapkan pakaian ihram di kotanya, menyucikan harta, menuliskan surat wasiat, dan berpamitan kepada keluarganya, semua ini, sejak langkah pertama, adalah kembali kepada Allah,ini juga merupakan salah satu rahasia haji.
    Dalam semua kondisi tersebut, seseorang selalu bersama Allah. Maknaperjalanan (disini) adalah bahwa seseorang berjalan menuju Allah, dalam ridha Allah, bersama Allah dan semata-mata karena Allah. Pengertian ini disebutkan dalam beberapa doa, diantaranya, “Dengan (menyebut) nama Allah, di jalan Allah, dan di atas ajaran Rasulullah.” Barangkali, maksudnya adalah bahwa pebuatan ini dimulai dengan menyebut nama Allah, di jalan Allah, di atas ajaran Allah, dan di atas sunnah Rasulullah SAW.
    Ada sebuah riwayat lain dari Imam Ali Zainal Abidin al-Sajjad. Setelah menunaikan ibadah haji, Imam al-Sajjad bertemu (dengan sahabatnya yang bernama) Syibli. Al-Sajjad kemudian bertanya kepadanya, “Apa yang telah anda lakukan ?”
    Syibli menjawab, “Saya (baru saja) pulang dari (menunaikan ibadah) haji.”
    Al-Sajjad bertanya, “Apakah anda telah ke Miqat? (apakah anda telah menanggalkan pakaian berjahit dan mengenakan pakaian yang tak berjahit (baju ihram)? (apakah) anda (juga) telah melakukan mandi ihram ?” Syibli menjawab, “ya”
    Al-Sajjad bertanya, “Apakah ketika mengenakan pakaian tak berjahit (baju ihram), Anda berniat mengenakan jubah ketaaatan?” Syibli menjawab, “tidak”
    Al-Sajjad bertanya, “Apakah ketika melakukan mandi ihram, Anda berniat membersihkan diri dari dosa-dosa?”
    Syibli berkata, “Tidak, saya hanya menanggalkan pakaian berjahit dan mengenakan baju ihram, mandi, dan berniat. Seperti itulah saya melakukannya, sebagaimana orang-orang (lain) melakukannya.”
    Al-Sajjad berkata, “kalau begitu, Anda tidak melakukan ihram.”
    Ya, ihram mengandung perintah lahiriah yang dilakukan oleh semua orang dan mengandungi perintah batin yang hanya dilakukan oleh penempuh jalan spiritual dan orang-orang yang memahami rahasia-rahasia haji. Mengenakan pakaian ihram mengandungi sebuah rahasia. Pengertian bahwa anda harus menanggalkan pakaian berjahit adalah bahwa anda harus menanggalkan pakaian dosa. Benar, pakaian dosa yang anda rajut, jahit dan kenakan, harus anda tanggalkan. Pabila anda tidak menanggalkannya, maka tidak ada bedanya antara pakaian berjahit dan pakaian tak berjahit (baju ihram). Inilah tanda-tanda rahasia-rahasia tersebut.
    Seseorang, selama satu tahun penuh, mungkin melakukan shalat dan beribadah dengan pakaian berjahit. Ini tidaklah berarti bahwa ibadah dengn menggunakan pakaian dijahit tidak akan diterima Allah. Namun, dalam ibadah haji, ini tidak diterima. Rasulullah SAW hendak mengajarkan kepada manusia tentang rahasia-rahasia haji. Yakni, akan datang suatu hari di mana manusia memasuki hari tersebut dengan mengenakan pakaian tak berjahit, hari kematian ketika manusia hanya mengenakan kain kafan. Dan manusia akan dibangkitkan pada hari kiamat dengan kain kafan tersebut. Benar, Rasulullah SAW hendak menampakkan kejadian-kejadian tersebut dalam manasik haji dan menjelaskan secara nyata rahasia-rahasia kiamat dalam manasik dan ritual haji.
    Benar, anda mengenakan pakaian sederhana yang akan menyingkirkan segala macam bentuk kesombongan dan keangkuhan. (Saat haji), anda mengenakan pakaian tak berjahit (baju ihram) dan perjalanan kematian menjelma di mata anda. Sungguh, kematian dan kiamat akan nampak dan hadir di hadapan anda.
    Al-Sajjad berkata kepada Syibli, “Pengertian mengenakan pakaian tak berjahit (baju ihram) adalah, “Tuhanku! Aku menanggalkan pakaian dosa dan aku bertobat atas semua dosa-dosa (ku).”
    Hanya tidak melakukan dosa bukanlah perkara penting, yang penting adalah mematuhi (perintah Allah). Oleh karena itu, seseorang mengenakan baju ihram, yaitu pakaian yang tidak dijahit, yang tidak berwarna (bercorak), yang halal dan suci, dengan kata lain, mengenakan baju ketaatan.
    Sehubungan dengan pengertian mandi ihram, Al-Sajjad berkata, “Tuhanku! Aku membersihkan segala dosa-dosaku.” Jadi, dalam mandi ihram terkandung tiga hal. Pertama, tidak akan melakukan dosa lagi. Kedua, bertekad untuk selalu mematuhi Allah. Ketiga, menebus dosa-dosa yang telah lalu.
    Adakalanya, seseorang mengenakan pakaian kotor nan usang selama beberapa waktu dan kemudian menanggalkannya serta menggantikannya dengan pakaian baru. Dengan demikian, manusia memiliki tiga tugas, yaitu menanggalkan pakaian usang, mengenakan pakaian baru, dan membersihkan serta menyucikan badan.
    Ya, dalam ibadah haji, anda harus menanggalkan pakaian berjahit (pakaian maksiat dan dosa). Anda mesti mencuci maksiat-maksiat yang telah lalu dengan air tobat. Maksudnya, “Ya Allah, aku tidak akan melakukan dosa lagi dan aku juga akan mencuci dosa-dosa yang telah lalu.”
    Adalah sangat penting bagi manusia untuk melumatkan perbuatan dosa. Inilah yang diharapkan dari pelaku haji, ketika melakukan ihram dan mandi di Miqat. Rahasia yang terkandung adalah, “Ya Allah, aku bersihkan diriku dari perbuatan maksiat dengan cara bertobat (kembali) kepada-Mu. Dengan hati yang suci, aku mengenakan jubah ketaatan.” Inilah rahasia dari ibadah haji.
    Kami berharap, kaum muslimin sedunia, setelah mengetahui rahasia-rahasia haji, dapat berziarah ke Baitullah, makam Rasulullah SAW, dan makam para Imam dari keluarga Nabi di Baqi’, dengan hati yang dipenuhi cinta dan rindu.(Literatur : Jawali)

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Al - Quran

    Kisah

    Promo