Galih Gumelar - Apakah Syariat Itu ? - Dari beberapa sumber yang di lansir dan dikutip, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online (KBBI daring), syariat adalah hukum agama yang menetapkan peraturan hidup manusia, hubungan manusia dengan Allah Swt., hubungan manusia dengan manusia dan alam sekitar berdasarkan Alquran dan hadis. Bentuk kata tidak bakunya: sarengat, sariat, sereat, syariah.
Sebagai sebuah khas agama, istilah syariat selalu identik dengan teologi Islam. Seperti kalimat, Al-Quran adalah sumber pertama dari syariat Islam. Meskipun sebenarnya istilah ini sudah ada sejak sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, namun di lingkungan masyarakat Indonesia istilah syariat lebih populer identik dengan Islam.
Untuk mendapatkan definisi lebih jelas tentang makna syariat dalam Islam, maka kita perlu merujuk kepada kamus literatur bahasa Arab.
Syariat berasal dari kata dasar sya-ra-‘a (شَرَعَ – يَشْرعُ) yang artinya memulai, mengawali, memasuki, memahami. Atau diartikan juga dengan membuat peraturan, undang-undang, syariat. Syar’un (شَرْع) dan syir’atan (شِرْعَة) memiliki arti yang sama: ajaran, undang-undang, hukum, piagam.
Ibnu Manzhur berkata: “Syari’at, syara’, dan musyarra’ah adalah tempat-tempat di mana air mengalir turun ke dalamnya. Syir’ah dan syari’ah dalam percakapan bangsa Arab memiliki pengertian syir’atul ma’, yaitu sumber air, tempat berkumpulnya air, yang didatangi manusia lalu mereka meminum airnya dan mengambil airnya untuk minum…. Bangsa Arab tidak menamakan tempat-tempat berkumpulnya air tersebut syari’at sampai air tersebut banyak, terus mengalir tiada putusnya, jelas dan bening, dan airnya diambil tanpa perlu menggunakan tali.” (Lisanul ‘Arab, 8/174)
Masih dalam tinjauan etimologi, syariat juga diartikan dengan mazhab atau ath-Thariqah al-Mustaqimah: metode yang lurus. (Al-Mukhtar min Shihhatil Lughah, 265; Al-Madkhal li Dirasati asy-Syari’ah, Abdul Karim Zaidan, 38)
Syariat Dalam Al-Quran.
Kata syariat juga terdapat dalam al-Quran. Dalam al-Quran, kata syariat baik berbentuk kata kerja (verb), kata benda, ataupun kata sifat terdapat dalam beberapa ayat.
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu)…” (QS. Al-Jatsiyah: 18)
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” (QS. Al-Maidah: 48)
إِذْ تَأْتِيهِمْ حِيتَانُهُمْ يَوْمَ سَبْتِهِمْ شُرَّعًا
“…ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu…” (QS. Al-A’raf: 163)
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ
“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu…” (QS. Asy-Syura: 13)
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy-Syura: 21)
Dalam khazanah ilmiah Islam, para Ulama mendefinisikan istilah syariat Islam dengan kalimat yang cukup beragam. Imam Al-Qurthubi mendefinisikan syariat Islam sebagai agama yang Allah syariatkan kepada hamba-hamba-Nya.” (Al-Jami’ li-Ahkamil Qur’an, 19/154)
Ibnu Taimiyah mendefinisikan syariat Islam sebagai menaati Allah, menaati Rasul-Nya, dan para pemimpin dari kalangan kita (orang-orang beriman). Pada hakekatnya syariat adalah menaati para rasul dan berada di bawah ketaatan kepada mereka. (Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah, 19/309)
Imam Ibnu Atsir Al-Jazari menitikberatkan definisi Syara’ dan syariat kepada agama yang Allah syariatkan atas hamba-hamba-Nya, yaitu agama yang Allah tetapkan bagi mereka dan Allah wajibkan atas diri mereka. (An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, 2/460)
Sementara Dr. Umar bin Sulaiman Al-Asyqar mengungkapkan definisi yang lebih rinci bahwa syariat adalah hukum-hukum yang Allah tetapkan di dalam kitab-Nya atau datang kepada kita melalui jalan rasul-Nya di dalam sunnah beliau, tidak ada bedanya apakah hukum-hukum tersebut dalam bidang akidah, amal, ataupun akhlak.” (Al-Madkhal ila Asy-Syari’ah wa Al-Fiqh Al-Islami, 14)
Doktor Athiyah Fayyadh dalam tulisannya yang berjudul Kaidah dan Neraca dalam Memahami Syariat dan Filsafatnya membagi terminologi syariat ke dalam dua definisi:
Pertama, Syariat dalam makna umum
Menurut Athiyah Fayyadh, dari segi makna umum, syariat adalah seluruh hukum-hukum yang dibebankan Allah ‘azza wajalla kepada hamba-Nya yang telah dijelaskan kepada mereka dalam wahyu-Nya dan oleh lisan rasul-Nya.
Definisi ini beliau simpulkan melalui hasil penelitian (Istiqra’) terhadap beberapa definisi yang telah dijelaskan oleh para Ulama seperti Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, Manna’ Qathan, dan Abdul Karim Zaidan.
Keluasan cakupan definisi syariat yang menjangkau seluruh aktivitas manusia (akidah, moral, ibadah, pekerjaan, politik, hukum, kekuasaan, dan warisan atau pemberian) ini mengindikasikan bahwa syariat itu adalah sempurna dan dengan sumber yang sudah jelas-jelas valid; firman Allah ‘azza wajalla dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh sebab itu, Syaikh Abdul Karim Zaidan menyebut syariat sebagai padanan dari kata al-Millah dan kata ad-Diin. Hukum-hukum yang disyariatkan Allah ‘azza wajalla adalah sebagai syariat dari segi sumber, deskripsi, dan kelurusannya, dan disebut ad-Diin dari segi kepada siapa ketundukan dan peribadatan ditujukan, dan disebut al-Millah dari segi perintah pelaksanaannya bagi manusia.
Kedua, Syariat dalam makna khusus
Sebagian ulama menggunakan istilah syariat secara lebih khusus yang hanya mencakup makna sebagian saja dari hukum-hukum syar’i karena sebab dan kebutuhan tertentu.
Ada ulama yang menggunakan istilah syariat untuk dihadapkan dengan istilah akidah (al-Aqidah) sehingga dalam konteks tersebut definisi syariat bergeser sedikit menjadi hukum-hukum fisik (al-Ahkam al-‘Amaliyah) dan definisi akidah menjadi persoalan-persoalan keyakinan (al-I’tiqad) dan iman (al-Iman).
Contoh penggunaan definisi ini adalah nama kitab yang ditulis oleh syaikh Syaltut, “Al-Islam ‘Aqidatan wa syari’atan”. Dalam buku tersebut, Syaikh Syaltut mendefinisikan syariat sebagai aturan (nidzam) yang disyariatkan oleh Allah ‘azza wajalla sebagai sebuah aturan untuk dirinya dalam merawat hubungan antara diri manusia dengan Rabbnya, hubungan manusia dengan saudara sesama muslim, hubungan manusia dengan sesama manusia (non-muslim), hubungan manusia dengan alam, dan hubungan manusia dengan kehidupan.
Selain itu, ada pula yang menggunakan istilah syariat untuk dihadapkan dengan istilah fikih (Al-Fiqh) sehingga dalam konteks ini syariat didefinisikan dengan hukum-hukum yang diturunkan oleh Allah ‘azza wajalla, sementara fikih bermakna hukum hasil ijtihad para mujtahid. Definisi seperti ini digunakan oleh Syaikh Ibnu Taimiyah (Asy-Syar’u al-Mu’awwalu).
Istilah syariat juga digunakan oleh sebagian ulama dalam definisi sebagai hukum-hukum yang sumbernya adalah wahyu, ketika istilah syariat ini dihadapkan dengan istilah Qanun dimana dalam konteks ini Qanun didefinisikan sebagai hukum-hukum yang dibuat oleh manusia dan diterapkan untuk diri mereka pula.
Syaikh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa (19/309) menjabarkan dengan kalimat yang cukup menarik tentang hakikat syariat,
لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ أَنْ يَخْرُجَ عَنْ الشَّرِيعَةِ فِي شَيْءٍ مِنْ أُمُورِهِ بَلْ كُلُّ مَا يَصْلُحُ لَهُ فَهُوَ فِي الشَّرْعِ مِنْ أُصُولِهِ وَفُرُوعِهِ وَأَحْوَالِهِ وَأَعْمَالِهِ وَسِيَاسَتِهِ وَمُعَامَلَتِهِ وَغَيْرِ ذَلِكَ
“Manusia tidak lepas dari syariat dalam urusan apapun sepanjang kehidupannya, bahkan setiap hal yang mengantarkannya kepada kebaikan semua ada dalam syariat. Mulai dari perkara ushul, perkara furu’, persoalan kehidupan, pekerjaan, politik, muamalah, dan lainnya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar